September 12, 2024

Koneksi Antar Materi Modul 3.3 Modul 3.3 Pengelolaan Program Sekolah yang Berdampak pada Murid - Ari Ermawan

Saya, Ari Ermawan, CGP Angkatan 10 dari SDN Kembangan Utara 10, Jakarta Barat, mendapatkan pemahaman tentang perubahan paradigma dalam pengambilan keputusan melalui modul ini. Yang sebelumnya berbasis masalah (defisit) kini beralih ke pendekatan berbasis aset. Pendekatan ini menekankan pentingnya melihat potensi dan sumber daya sekolah sebagai kekuatan, sehingga masalah tidak lagi menjadi hambatan dalam mencapai visi dan misi sekolah yang berfokus pada murid.

Dalam proses pengambilan keputusan, penting untuk menerapkan sembilan langkah pengujian dan perencanaan program sekolah yang matang, serta menggunakan model manajemen perubahan BAGJA. Manajemen risiko dan pendekatan MELR (Monitoring, Evaluation, Learning, and Reporting) juga diperlukan untuk memastikan program berjalan efektif dan efisien.

Pemetaan aset sekolah, baik fisik maupun non-fisik, merupakan langkah penting dalam merencanakan program yang berdampak pada murid. Setelah pemetaan, aset-aset ini harus dioptimalkan untuk mencapai tujuan sekolah, terutama dalam mendukung Merdeka Belajar dan membentuk Profil Pelajar Pancasila.

Modul 3.3 ini juga mengaitkan materi dari modul-modul sebelumnya:

Modul 1.1 membahas filosofi Ki Hajar Dewantara yang menekankan peran penting guru dalam membimbing kodrat alami setiap anak, agar mereka bisa tumbuh bahagia dan berhasil sebagai anggota masyarakat. Dalam menjalankan program sekolah yang berdampak pada murid, guru harus melibatkan murid dan memfokuskan pada pengembangan potensi unik mereka. Modul ini juga menyoroti bahwa setiap murid adalah individu yang unik dan utuh, sehingga penting bagi guru untuk membimbing mereka sesuai dengan kodrat masing-masing.

Modul 1.2 menyoroti nilai-nilai dan peran guru penggerak, yaitu kemandirian, refleksi, kolaborasi, inovasi, dan keberpihakan pada murid. Nilai-nilai ini selaras dengan tujuan membentuk profil Pelajar Pancasila dan Merdeka Belajar. Guru tidak hanya sebagai pemimpin pembelajaran di kelas, tetapi juga sebagai pemimpin yang bertanggung jawab dalam pengelolaan program sekolah yang berfokus pada murid.

Modul 1.3 mengajarkan bagaimana merancang dan mengelola program yang berdampak pada murid dengan menggunakan pendekatan inkuiri apresiatif model BAGJA. Ini melibatkan pemetaan aset sekolah dan pengembangan potensi untuk menciptakan program yang bermanfaat bagi murid.

Modul 1.4 berbicara tentang pentingnya menciptakan budaya positif di sekolah. Lingkungan yang mendukung pengembangan potensi dan minat murid sangat penting, dan guru, seperti seorang petani, harus memanfaatkan sumber daya lingkungan yang positif untuk membantu anak-anak berkembang sesuai dengan kodrat alam dan zaman.

Modul 2.1 memperkenalkan pembelajaran berdiferensiasi sebagai cara guru penggerak memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan murid. Pendekatan ini menanggapi keberagaman karakteristik dan kecerdasan murid. Sebelum melaksanakan pembelajaran ini, guru perlu memetakan kebutuhan belajar, minat, dan profil belajar murid untuk memahami potensi mereka.

Modul 2.2 berfokus pada pengembangan kompetensi sosial murid melalui teknik mindfulness. Teknik ini membantu dalam mengembangkan lima kompetensi sosial emosional yang mendukung Merdeka Belajar dan budaya positif di sekolah.

Modul 2.3 membahas coaching sebagai strategi untuk membimbing dan mengembangkan potensi murid. Coaching memberikan ruang bagi murid untuk menggali proses berpikir dan kepemimpinan mereka, serta membantu mencapai tujuan pendidikan yang mengutamakan keselamatan dan kebahagiaan anak.

Modul 3.1 menekankan bahwa guru sebagai pemimpin pembelajaran harus mampu mengambil keputusan yang berpihak pada murid. Prinsip, nilai, dan paradigma dalam pengambilan keputusan harus selalu konsisten, terutama dalam menghadapi dilema etika atau moral.

Modul 3.2 menguraikan pentingnya pengelolaan sumber daya di sekolah. Guru sebagai pemimpin pembelajaran harus mampu memetakan aset fisik dan non-fisik di sekolah. Pendekatan berbasis aset dinilai lebih efektif dalam mengoptimalkan potensi sekolah dibandingkan dengan pendekatan berbasis masalah, sehingga program yang berdampak pada murid dapat direncanakan dengan baik.

Modul 3.3 membahas tentang pengelolaan program sekolah yang berdampak pada murid. Terdapat tujuh aset atau modal yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan sekolah: modal manusia, sosial, fisik, lingkungan, finansial, politik, serta agama dan budaya. Guru sebagai pemimpin harus mampu memetakan dan mengoptimalkan penggunaan aset ini untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah.

Secara keseluruhan, Modul 3.3 menegaskan bahwa pengelolaan program sekolah yang berdampak pada murid harus didasarkan pada pendekatan berbasis aset dan pengoptimalan tujuh modal: modal manusia, sosial, fisik, lingkungan, finansial, politik, serta agama dan budaya. Guru sebagai pemimpin harus mampu memetakan dan memanfaatkan modal ini untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.

Demikian, semoga bermanfaat untuk kita semua. Terima kasih.

September 09, 2024

Jurnal Refleksi Dwimingguan Modul 3.3 Ari Ermawan

Salam sehat, saya Ari Ermawan, calon Guru Penggerak Angkatan 10 Jakarta Barat. Dalam kesempatan ini, saya akan menyusun Jurnal Refleksi Dwi Mingguan untuk modul 3.3 mengenai Pengelolaan Program yang Berdampak Positif pada Murid. Jurnal ini merupakan bagian dari refleksi diri setelah mengikuti kegiatan Pendidikan CGP selama dua minggu ke-2 dan akan ditulis secara rutin setiap dua minggu sebagai bagian dari tugas calon guru penggerak.

Untuk menyusun jurnal refleksi ini, saya menggunakan Model 1, yaitu model 4F (Fact, Feeling, Findings, dan Future) yang dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway. Model 4F ini dapat diterjemahkan menjadi 4P, yaitu: Peristiwa; Perasaan; Pembelajaran; dan Penerapan.

Peristiwa (Fact)
Modul 3.3 tentang Pengelolaan Program yang Berdampak Positif pada Murid adalah modul penutup dalam Pendidikan Guru Penggerak ini. Sama seperti modul-modul sebelumnya, Modul 3.3 dimulai dengan alur MERDEKA, yakni Mulai dari diri. Pada tahap ini, CGP dihadapkan pada dua pertanyaan utama: apa yang dimaksud dengan program berdampak pada murid dan bagaimana kaitannya dengan student agency. Dalam eksplorasi konsep, saya mempelajari cara menyusun program yang berdampak pada murid serta menumbuhkan student agency dengan mempertimbangkan tiga aspek penting: suara (voice), pilihan (choice), dan kepemilikan (ownership). Selain itu, materi juga mencakup lingkungan yang mendukung pengembangan kepemimpinan murid dan pentingnya keterlibatan komunitas. Di forum diskusi eksplorasi konsep, beberapa CGP berbagi tentang program atau kegiatan yang telah dilakukan di sekolah mereka yang berdampak pada murid, sementara CGP lainnya memberikan umpan balik.

Perasaan (Feeling)
Minggu kedua ini merupakan campuran perasaan bahagia dan sedih. Saya merasa bahagia karena akhirnya kami mencapai modul terakhir dalam PGP angkatan 8 ini. Meskipun ada banyak tugas, saya berhasil menyelesaikannya sesuai jadwal, meskipun ada beberapa tugas yang sedikit terlambat. Saya juga merasa sangat bersyukur karena diberikan kesehatan dan kesempatan untuk sampai pada modul 3.3, mempelajari materi, dan berpartisipasi dalam Ruang Kolaborasi. Saya bertekad untuk menerapkan ilmu yang didapatkan di sekolah tempat saya mengajar agar berdampak positif bagi murid.

Namun, saya juga merasa sedih karena minggu ini adalah minggu terakhir kami berkolaborasi dengan fasilitator. Meskipun kami belum saling mengenal secara langsung, banyak ilmu berharga yang beliau sampaikan. Beliau juga banyak membantu saya selama PGP ini, terutama ketika menghadapi kendala seperti jaringan yang buruk, tugas yang terlupa, dan jadwal video conference yang terlewat. Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Susanta dan juga Bapak Andi Rifaih selaku Pengajar Praktik atas semua bantuan dan kebaikannya selama ini, dan akan menyampaikan ucapan terima kasih ini secara langsung juga.

Pembelajaran (Findings)
Modul 3.3 ini memperdalam pemahaman saya mengenai bagaimana merancang program yang berdampak positif bagi murid. Program yang efektif diharapkan dapat menumbuhkan kepemimpinan murid atau student agency dengan memperhatikan suara (voice), pilihan (choice), dan kepemilikan (ownership) murid. Penting untuk melakukan pemetaan aset atau mapping asset untuk memahami potensi sekolah, agar program dapat dioptimalkan dan hambatan dapat diminimalisir. Program yang berdampak positif juga bisa mendukung pencapaian visi dan misi sekolah.

Penerapan (Future)
Ke depannya, saya berencana untuk berkolaborasi dengan rekan guru dan murid di sekolah, berbagi pengetahuan, dan bersama-sama merancang program atau kegiatan yang dapat menumbuhkan kepemimpinan murid dengan memperhatikan suara (voice) dan pilihan (choice) mereka. Dengan demikian, program tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi murid dan menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap program yang telah dirancang bersama.

Demikian jurnal ini saya susun, semoga bermanfaat bagi kita semua.

August 27, 2024

Refleksi Dwimingguan Modul 3.2 Ari Ermawan

Saya Ari Ermawan, CGP Angkatan 10 dari SDN Kembangan Utara 10 Jakarta Barat, dalam kesempatan ini akan melakukan refleksi dwimingguan Modul 3.2 mengenai Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya, saya menggunakan Model 1: 4F (Facts, Feelings, Findings, Future) untuk merefleksikan pengalaman dan pelajaran yang saya peroleh. Berikut adalah ringkasan refleksi saya:

  1. Peristiwa (Fact)

Modul ini mengajarkan tentang pengelolaan sumber daya melalui pendekatan Aset Based Thinking (ABT) dan menggunakan Alur Merdeka yang mencakup beberapa tahap, seperti Mulai dari Diri, Eksplorasi Konsep, Ruang Kolaborasi, Demonstrasi Kontekstual, dan lainnya. Pada tahap awal, saya diminta untuk refleksi mengenai ekosistem sekolah, sumber daya yang ada, dan peran pemimpin dalam memanfaatkan sumber daya tersebut. Pertanyaan-pertanyaan ini memicu saya untuk merenungkan kontribusi saya sebagai pendidik dan apa yang diharapkan dari modul ini. Kegiatan selanjutnya termasuk eksplorasi konsep mengenai Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan bagaimana pemimpin dapat memanfaatkan sumber daya untuk mendukung kemerdekaan belajar siswa.

  1. Perasaan (Feelings)

Sebelum mempelajari modul ini, saya merasa bingung tentang praktik pemimpin dalam pengelolaan sumber daya. Namun, setelah melalui proses eksplorasi dan kolaborasi, saya mulai memahami bahwa pemimpin dalam pengelolaan sumber daya harus mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan kekuatan serta potensi yang ada, baik dari komponen abiotik maupun biotik. Saya merasa lebih paham bahwa pemimpin yang efektif adalah mereka yang optimis dan melihat setiap elemen sebagai aset berharga yang dapat dikembangkan.

  1. Pembelajaran (Findings)

Modul 3.2 mengajarkan bahwa pemimpin yang efektif dalam pengelolaan sumber daya harus mampu menggali dan memanfaatkan kekuatan komunitas serta aset yang ada. Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) menekankan pada kemampuan komunitas untuk memberdayakan diri mereka sendiri dan memanfaatkan aset yang ada. Tujuh modal utama yang penting termasuk modal manusia, sosial, fisik, lingkungan, finansial, politik, serta agama dan budaya. Setiap modal ini berperan dalam mendukung keberhasilan komunitas dan meningkatkan kualitas hidup.

  1. Penerapan (Future)

Dari pelajaran yang diperoleh, saya berencana untuk menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya di kelas dengan mengoptimalkan aset sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa. Di sekolah, saya akan mengidentifikasi dan memanfaatkan berbagai aset yang ada untuk mengembangkan program-program yang sesuai dengan visi dan misi sekolah. Di masyarakat sekitar, saya akan menjalin kolaborasi yang baik untuk mendukung kemajuan sekolah. Contohnya, memanfaatkan keterampilan guru dan orang tua sebagai narasumber atau motivator, serta mengintegrasikan berbagai sumber daya dari lingkungan untuk mendukung pembelajaran dan kegiatan sekolah.

Koneksi Antarmateri Modul 3.2 Ari Ermawan

Saya Ari Ermawan, CGP Angkatan 10 dari SDN Kembangan Utara 10, Jakarta Barat. Dalam kesempatan kali ini saya akan menuliskan Koneksi Antarmateri Modul 3.2.

Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya pada alur belajar merdeka Modul 3.2 menghubungkan materi modul ini dengan modul-modul sebelumnya. Modul ini menekankan pada kemampuan mengelola sumber daya yang ada di sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mendukung tercapainya tujuan pembelajaran.

Sekolah Sebagai Ekosistem

Sekolah dianggap sebagai ekosistem di mana terjadi interaksi antara unsur biotik (makhluk hidup) dan abiotik (unsur tak hidup). Interaksi ini menciptakan hubungan yang selaras dan harmonis, yang diperlukan untuk membangun lingkungan belajar yang kondusif.

Satuan Pendidikan Sebagai Komunitas

Sebagai sebuah komunitas, satuan pendidikan memiliki hak untuk mengatur, melaksanakan, dan mengawasi kegiatan pendidikan. Hal ini bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pendidikan. Efektivitas ini dapat dicapai dengan melibatkan seluruh anggota sekolah melalui pendekatan berbasis aset.

Pendekatan ABCD (Asset-Based Community Development)

ABCD atau Pengembangan Komunitas Berbasis Aset adalah pendekatan yang menitikberatkan pada potensi dan kemampuan yang ada dalam komunitas. Pendekatan ini mendorong penggunaan aset yang ada untuk membangun keterkaitan yang dapat meningkatkan daya guna.

Pemimpin Pembelajaran dalam Pengelolaan Sumber Daya

Seorang pemimpin pembelajaran bertugas mengelola sumber daya yang ada secara optimal. Ini melibatkan pengelolaan 7 modal utama yang terdapat di sekolah: modal manusia, fisik, sosial, finansial, politik, lingkungan/alam, dan agama dan budaya. Dengan memanfaatkan modal ini, pemimpin pembelajaran dapat meningkatkan kualitas pendidikan, memotivasi murid dan staf, serta menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan berpihak pada murid.

Implementasi di Kelas, Sekolah, dan Masyarakat

Pemimpin pembelajaran dapat mengimplementasikan pendekatan ini di kelas dengan menciptakan suasana yang mendukung pembelajaran berdiferensiasi, di sekolah dengan mengelola sumber daya yang tersedia secara efektif, dan di masyarakat dengan melibatkan orang tua dan komunitas dalam kegiatan pendidikan.

Pengelolaan Sumber Daya untuk Proses Pembelajaran yang Berkualitas

Pengelolaan sumber daya yang baik, seperti memanfaatkan modal manusia (guru dan tenaga kependidikan), modal lingkungan (menciptakan sekolah yang kondusif), dan modal sosial (kerja sama antar sekolah dan komunitas), akan meningkatkan kualitas pembelajaran. Modal finansial dan modal politik juga mendukung keberlanjutan program pendidikan yang berkualitas.


Ruang Kolaborasi Modul 3.2 Identifikasi Aset Daerah


Hubungan Modul 3.2 dengan Modul Lainnya

Modul ini terkait dengan konsep dari Ki Hadjar Dewantara, di mana pendidikan menuntun potensi murid. Ini juga sejalan dengan visi Guru Penggerak yang berbasis pada pendekatan inkuiri apresiatif (IA) melalui alur BAGJA. Pendekatan ini menekankan pada pemanfaatan aset yang ada. Modul ini juga berhubungan dengan strategi pembelajaran sosial dan emosional serta pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan, yang penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif.

Refleksi Pribadi

Sebelum mempelajari modul ini, pandangan saya lebih fokus pada kekurangan dan masalah yang ada, yang sering kali menimbulkan perasaan pesimis dan negatif. Namun, setelah mempelajari modul ini, pandangan saya berubah menjadi lebih positif dan optimis dengan memanfaatkan aset yang dimiliki. Pemimpin pembelajaran harus mampu melihat potensi dan kekuatan dalam lingkungan sekolah dan menggunakannya untuk menciptakan perubahan positif.

Demikian Koneksi Antarmateri Modul 3.2 ini saya buat, semoga bermanfaat.

Demonstrasi Kontekstual Modul 3.2 Ari Ermawan

Saya Ari Ermawan, CGP Angkatan 10 dari SDN Kembangan Utara 10 jakarta Barat.

Dalam kesempatan ini saya akan menyampaikan tugas Demosntrasi Kontekstual Modul 3.2

berupa menjawab pertanyaan berdasarkan video:


Apa visi dari sekolah tempat guru di video tersebut mengajar?

Jawaban:

  • Visi sekolah tersebut adalah untuk menghasilkan lulusan yang berkarakter kuat, kompeten, serta menciptakan lingkungan yang Aman, Sejuk, Rindang, dan Indah (ASRI).
Apa perubahan yang ingin dilakukan oleh guru dalam video tersebut?
Jawaban:
  • Guru berupaya menciptakan ekosistem sekolah yang nyaman dan menyenangkan guna mendukung pembelajaran yang berfokus pada siswa, dengan tujuan mewujudkan profil pelajar Pancasila.

Apa pertanyaan utama dari kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam video tersebut?

Jawaban:

  • Bagaimana cara menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan dalam proses pembelajaran yang berorientasi pada siswa.

Kegiatan atau tindakan apa yang dilakukan oleh guru dalam video tersebut yang menggambarkan tahapan berikut:

Jawaban:

a) Membuat pertanyaan:

  1. Berkolaborasi dengan rekan kerja untuk mengembangkan ide perubahan.
  2. Mengadakan brainstorming atau diskusi dengan siswa untuk meningkatkan semangat belajar.
  3. Meneliti kriteria kelas yang ideal yang nyaman dan menyenangkan serta berdampak positif pada semangat belajar siswa.
  4. Menanyakan kepada siswa apa saja yang memotivasi mereka dalam belajar.

b) Mengambil pelajaran:

  1. Guru memfasilitasi siswa untuk melakukan studi banding atau belajar dari kelas lain dalam satu sekolah untuk mencari hal-hal positif.
  2. Guru mendorong siswa untuk menyampaikan pendapat mereka tentang aspek positif yang mereka temukan demi perbaikan lingkungan kelas mereka sendiri.
  3. Menggali informasi dari siswa mengenai hal-hal yang dapat memotivasi mereka untuk belajar.
  4. Guru mencari kelas yang sesuai dengan harapan siswa.
  5. Membandingkan satu kelas dengan kelas lainnya.

c) Menggali mimpi:

  1. Guru meminta siswa membayangkan kelas impian mereka di masa depan.
  2. Guru meminta siswa untuk menggambarkan seperti apa kelas impian mereka.
  3. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi ide mengenai kelas ideal dalam bentuk proyek kelompok.
  4. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan pendapat mereka melalui presentasi kepada siswa lain.

d) Menjabarkan rencana:

  1. Guru memberi siswa kesempatan untuk merencanakan aksi dalam mewujudkan kelas yang nyaman dan menyenangkan dengan tenggat waktu yang jelas.
  2. Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok.
  3. Setiap kelompok siswa diberi kesempatan untuk berkontribusi dan menentukan pembagian tugas.
  4. Guru dan siswa bersama-sama menentukan apa saja yang dibutuhkan untuk menciptakan kelas impian yang dapat memotivasi belajar.

e) Mengatur eksekusi:

  1. Menetapkan waktu mulai yang tepat bersama siswa untuk mewujudkan kelas yang nyaman dan menyenangkan.
  2. Siswa diberdayakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing untuk menciptakan kolaborasi dengan siswa lain.
  3. Guru memberikan bimbingan dan pendampingan serta membantu siswa ketika mereka menghadapi kesulitan.
  4. Guru memberikan penghargaan kepada semua siswa setelah berhasil menciptakan ruang kelas yang nyaman dan menyenangkan.
  • Apa peran pemimpin yang ditampilkan dalam video tersebut?

    Jawaban:
    Pemimpin berperan dalam menjalankan fungsi manajemen, dengan langkah-langkah berikut:

    a. Perencanaan (Planning): Merancang langkah-langkah taktis dan strategis untuk mewujudkan perubahan yang diinginkan.
    b. Pengorganisasian (Organizing): Mengatur sumber daya yang ada agar lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan perubahan.
    c. Pengarahan (Actuating): Mengarahkan siswa sesuai dengan kompetensi mereka melalui bimbingan, konsultasi, dan pemberian motivasi.
    d. Evaluasi (Controlling): Mengevaluasi hasil kerja untuk memantau kemajuan dari rencana yang telah ditetapkan.

  • Apa modal utama yang dimanfaatkan oleh pemimpin pembelajaran dalam video tersebut, dan bagaimana pemanfaatannya?

    Jawaban:

    a. Modal Manusia:

    • Rekan kerja: Berbagi ide untuk mewujudkan perubahan.
    • Siswa: Memanfaatkan partisipasi siswa untuk menciptakan lingkungan kelas yang nyaman dan menyenangkan.

    b. Modal Sosial:

    • Kerja sama antar kelas melalui studi banding untuk menemukan aspek positif dalam menciptakan kelas yang nyaman dan menyenangkan.

    c. Modal Fisik:

    1. Ruang kelas sebagai tempat utama untuk mewujudkan lingkungan yang menyenangkan.
    2. Pajangan atau ornamen untuk mempercantik kelas.
    3. Rak buku dan buku sebagai media penunjang pembelajaran.
    4. Kursi dan meja yang dapat diatur agar lebih fleksibel dalam kegiatan belajar mengajar (KBM).

    d. Modal Lingkungan:

    1. Menggunakan lingkungan kelas untuk bekerja sama dalam menciptakan ruang yang nyaman dan menyenangkan.
    2. Mengoptimalkan lingkungan sekolah untuk memperindah ruang kelas.

    e. Modal Finansial:

    • Memanfaatkan perlengkapan yang tersedia di sekolah untuk mewujudkan kelas yang nyaman dan menyenangkan.

    f. Modal Agama dan Budaya:

    • Menggunakan nilai-nilai agama dan budaya untuk memperkuat karakter siswa.
  • August 21, 2024

    Jurnal Refleksi Dwimingguan ke-8 Ari Ermawan

    Saya, Ari Ermawan, seorang Calon Guru Penggerak Angkatan 10 dari SDN Kembangan Utara 10 Jakarta Barat, akan menulis Jurnal Refleksi Dwi Mingguan mengenai modul 3.1 yang membahas tentang Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-Nilai Kebajikan sebagai Pemimpin. Jurnal ini merupakan refleksi diri setelah dua minggu mengikuti kegiatan Pendidikan CGP, dan akan ditulis secara berkala setiap dua minggu sebagai bagian dari tugas yang harus diselesaikan oleh calon guru penggerak.

    Dalam menulis jurnal refleksi ini, saya menggunakan model 4F (Fact, Feeling, Findings, dan Future) yang diprakarsai oleh Dr. Roger Greenaway, yang diterjemahkan menjadi 4P: Peristiwa, Perasaan, Pembelajaran, dan Penerapan.

    Peristiwa (Fact): Saya memiliki pengalaman positif selama pembelajaran di modul 3.1 ini, di mana saya mengikuti tahapan pembelajaran yang diatur dengan urutan MERDEKA, seperti pada modul-modul sebelumnya. Kata MERDEKA adalah singkatan dari langkah-langkah belajar yang mencakup Mulai dari diri, Eksplorasi konsep, Ruang kolaborasi, Demonstrasi kontekstual, Elaborasi konsep, Koneksi antar materi, dan Aksi nyata.

    Pada tahap "Mulai dari diri," saya mengaktifkan pengetahuan awal saya dan mengamati keterampilan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan yang mempertimbangkan berbagai pihak terkait, seperti murid, orang tua, guru, pengawas, dan komunitas sekolah.

    Selanjutnya, pada tahap eksplorasi konsep, saya mempelajari konsep pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan sebagai pemimpin sekolah, dengan tujuan menjadikan sekolah sebagai institusi moral. Saya menekankan pentingnya keputusan yang berpihak pada murid, bertanggung jawab, dan didasarkan pada nilai-nilai kebajikan universal. Saya juga menganalisis dilema etika dalam pengambilan keputusan.

    Pada tahap ruang kolaborasi, saya berpartisipasi dalam diskusi virtual dengan rekan-rekan CGP untuk berbagi, berkolaborasi, dan mempraktikkan keterampilan pengambilan keputusan berdasarkan 4 paradigma, 3 prinsip, dan 9 langkah pengambilan serta pengujian keputusan.

    Setelah tahap demonstrasi kontekstual, saya menganalisis bagaimana proses pengambilan keputusan diterapkan di sekolah asal saya dan sekolah lain berdasarkan pengetahuan yang telah dipelajari. Saya juga melakukan wawancara dengan dua kepala sekolah, Ibu Ristahapsati Musfa Sadisa, S.Pd., M.M., dari SDN Kembangan Utara 10, dan Ibu Purwati Prihatiningsih dari SDN Kembangan Utara 09, untuk memahami praktik pengambilan keputusan yang mereka lakukan.

    Saya menghadapi tantangan saat melakukan wawancara dengan dua kepala sekolah, namun berhasil mengatasinya dengan menyiapkan pertanyaan yang relevan dengan tujuan saya. Hingga saat ini, saya merasa semuanya berjalan dengan baik sesuai rencana.

    Perasaan (Feeling): Saya merasa bersyukur selama proses belajar karena mendapatkan pengetahuan baru yang sangat penting bagi seorang pemimpin pembelajaran. Sebagai guru penggerak, saya harus mampu memimpin pembelajaran, menggerakkan komunitas praktisi, melatih guru lain, mempromosikan kolaborasi, dan memajukan kepemimpinan siswa. Untuk melaksanakan tugas tersebut dengan baik, saya harus mampu mengambil keputusan yang didasarkan pada nilai-nilai kebajikan. Seperti yang telah dipelajari, seorang guru penggerak harus memiliki nilai-nilai mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan mendukung murid. Keputusan yang diambil harus mempertimbangkan tiga unsur penting: mendukung murid, bertanggung jawab, dan didasarkan pada nilai-nilai kebajikan universal. Saya menemukan banyak keterkaitan yang membantu saya memahami konsep tersebut dan membentuk pemahaman baru.

    Pembelajaran (Findings): Dari modul 3.1, saya belajar bahwa pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai kebajikan adalah keterampilan penting bagi seorang pemimpin. Pengambilan keputusan sering kali melibatkan banyak kepentingan yang saling bersinggungan dan bisa menyebabkan beberapa pihak merasa dirugikan. Namun, dengan berlatih, kita akan semakin fokus dalam mengambil keputusan yang tepat. Meskipun sulit memilih antara beberapa pilihan yang benar, seorang pemimpin harus mempertimbangkan tiga unsur penting: mendukung murid, berdasarkan nilai-nilai kebajikan universal, dan bertanggung jawab atas konsekuensi keputusan yang diambil.

    Dalam situasi dilema etika, terdapat nilai-nilai kebajikan mendasar yang saling bertentangan seperti kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, dan tanggung jawab. Paradigma situasi dilema etika meliputi individu vs kelompok, keadilan vs kasih sayang, kebenaran vs kesetiaan, serta jangka pendek vs jangka panjang. Terdapat tiga prinsip pengambilan keputusan yang dapat digunakan dalam menghadapi dilema etika: berpikir berdasarkan hasil akhir, peraturan, dan rasa peduli.

    Untuk menghadapi situasi dilema etika atau bujukan moral yang membingungkan, terdapat 9 langkah yang dapat digunakan sebagai panduan dalam mengambil keputusan dan menguji keputusan yang diambil. Langkah-langkah tersebut meliputi mengenali nilai-nilai yang bertentangan, menentukan pihak yang terlibat, mengumpulkan fakta relevan, menguji benar atau salah, menguji paradigma benar lawan benar, menerapkan prinsip resolusi, menginvestigasi opsi trilemma, membuat keputusan, dan merenungkan keputusan yang diambil. Sembilan langkah ini merupakan panduan fleksibel yang dapat disesuaikan dengan situasi yang dihadapi.

    Penerapan (Future): Saya akan menerapkan konsep pengambilan keputusan yang telah dipelajari, termasuk empat paradigma, tiga prinsip, dan sembilan langkah, untuk meningkatkan keterampilan saya dalam membuat keputusan. Saya juga akan berbagi pengetahuan tentang materi yang dipelajari melalui berbagai media, baik secara langsung maupun digital, agar dapat diakses oleh rekan-rekan guru lainnya.

    Demikian jurnal refleksi dwimingguan saya ke-8 semoga dapat menjadi inspirasi bagi bapa/ibu guru CGP dan guru-guru Indonesia pada umumnya.

    August 09, 2024

    DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 3.1 - PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN SEBAGAI PEMIMPIN SATUAN PENDIDIKAN

    Oleh    : Ari Ermawan

    CGP Angkatan 10 DK Jakarta

    SDN Kembangan Utara 10

     

    Tugas demonstrasi kontekstual pada awal modul ketiga ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan Calon Guru Penggerak dalam menganalisis penerapan proses pengambilan keputusan berdasarkan pengetahuan tentang berbagai paradigma, prinsip, serta metode pengambilan dan penerapan keputusan di sekolah mereka masing-masing serta di lingkungan lainnya.

    Untuk mencapai tujuan ini, CGP diminta untuk melakukan wawancara dengan 2 hingga 3 pimpinan atau kepala sekolah. Saya sendiri telah melakukan wawancara dengan 2 pimpinan atau kepala sekolah di sekitar saya. Hasil dari wawancara ini akan digunakan untuk memahami praktik pengambilan keputusan yang diterapkan selama ini, terutama dalam kasus-kasus di mana nilai-nilai kebajikan saling berbenturan, atau dalam kasus dilema etika yang sama-sama benar.

    Saya harus mengumpulkan informasi mengenai tindakan yang telah dilakukan oleh para pimpinan tersebut, serta praktik-praktik yang diterapkan kepala sekolah dalam memimpin sekolah. Selain itu, saya juga perlu menganalisis praktik pengambilan keputusan dalam situasi dilema etika yang dihadapi oleh para pimpinan yang saya wawancarai, dan mengaitkannya dengan pengetahuan saya tentang empat paradigma, tiga prinsip, dan sembilan langkah pengujian.

    Berikut adalah panduan pertanyaan wawancara:

    1.      Selama ini, bagaimana Anda dapat mengidentifikasi kasus-kasus yang merupakan dilema etika atau bujukan moral?

    2.      Selama ini, bagaimana Anda menjalankan pengambilan keputusan di sekolah Anda, terutama untuk kasus-kasus di mana ada dua kepentingan yang sama-sama benar atau sama-sama mengandung nilai kebajikan?

    3.      Langkah-langkah atau prosedur seperti apa yang biasa Anda lakukan selama ini?

    4.      Hal-hal apa saja yang selama ini Anda anggap efektif dalam pengambilan keputusan pada kasus-kasus dilema etika?-

    5.      Hal-hal apa saja yang selama ini merupakan tantangan dalam pengambilan keputusan pada kasus-kasus dilema etika?

    6.      Apakah Anda memiliki sebuah tatakala atau jadwal tertentu dalam sebuah penyelesaian kasus dilema etika, apakah Anda langsung menyelesaikan di tempat, atau memiliki sebuah jadwal untuk menyelesaikannya, bentuk atau prosedur seperti apa yang Anda jalankan?

    7.      Adakah seseorang atau faktor-faktor apa yang selama ini mempermudah atau membantu Anda dalam pengambilan keputusan dalam kasus-kasus dilema etika?

    8.      Dari semua hal yang telah disampaikan, pembelajaran apa yang dapat Anda petik dari pengalaman Anda mengambil keputusan dilema etika?

    Dalam tugas demonstrasi kontekstual modul 3.1 ini, saya mewawancarai Ibu Ristahapsati Musfasadisa, S.Pd., M.M. (Ibu Rista), kepala SDN Kembangan Utara 10, pada hari Selasa, 6 Agustus 2024. Pada hari yang sama, saya juga mewawancarai Ibu Purwati Prihatiningsih, S.Pd. (Ibu Pur), kepala SDN Kembangan Utara 09.

     

    Wawancara 1

    Berikut adalah hasil wawancara saya dengan Ibu Rista, menggunakan panduan pertanyaan wawancara yang telah disediakan. Wawancara dilakukan pada hari Selasa, 6 Agustus 2024, di ruang kepala sekolah.

    Pertanyaan pertama saya adalah, "Bagaimana Ibu mengidentifikasi kasus yang merupakan dilema etika atau bujukan moral?" Ibu Rista menjelaskan bahwa dilema etika terjadi ketika sebuah kasus melibatkan dua nilai yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, sedangkan bujukan moral adalah kasus yang nilai benar atau salahnya sudah jelas, sehingga lebih mudah untuk diputuskan.

    Pertanyaan kedua adalah, "Bagaimana Ibu menjalankan pengambilan keputusan di sekolah, terutama untuk kasus-kasus di mana ada dua kepentingan yang sama-sama benar atau mengandung nilai kebajikan?" Ibu Rista menyatakan bahwa dalam situasi seperti ini, pertama-tama ia mencoba membuat keputusan berdasarkan nilai kasih sayang dengan memberikan kesempatan untuk perbaikan. Namun, jika tidak ada usaha perbaikan, maka nilai keadilan yang akan digunakan.

    Kemudian, saya bertanya tentang langkah-langkah atau prosedur yang biasa dilakukan selama ini. Ibu Rista menjelaskan bahwa langkah pertama adalah berkomunikasi untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, kemudian memberikan teguran dan surat pemanggilan internal dari kepala sekolah. Jika ini tidak diindahkan, langkah selanjutnya adalah berkonsultasi dengan kepala sekolah lain, pengawas, Kasatlak, dan akhirnya Dinas jika tidak ada niat baik untuk memperbaiki.

    Selanjutnya, saya bertanya tentang hal-hal yang dianggap efektif dalam pengambilan keputusan pada kasus-kasus dilema etika. Ibu Rista menyebutkan bahwa komunikasi adalah hal yang efektif. Namun, jika komunikasi tidak berjalan baik, maka teguran dan peringatan internal serta konsultasi dengan pihak atasan menjadi langkah berikutnya.

    Tantangan dalam pengambilan keputusan pada kasus-kasus dilema etika, menurut Ibu Rista, adalah kesulitan dalam menjalin komunikasi, yang dapat menyebabkan perbedaan visi dengan sekolah. Jika nilai kasih sayang tidak berhasil, maka nilai keadilan harus ditegakkan.

    Ketika ditanya apakah ada tata kelola atau jadwal tertentu dalam penyelesaian kasus dilema etika, Ibu Rista menjelaskan bahwa tidak ada jadwal khusus. Penyelesaian kasus tergantung pada tingkat kesulitannya. Keputusan tidak harus diambil segera di tempat jika masalahnya rumit, tetapi jika tidak terlalu rumit, sebaiknya segera diselesaikan berdasarkan nilai-nilai kebajikan.

    Faktor-faktor yang mempermudah pengambilan keputusan dalam kasus-kasus dilema etika, menurut Ibu Rista, adalah adanya diskusi antara kepala sekolah, wakil kepala sekolah, warga sekolah, dan dukungan dari pengawas pembina.

    Pertanyaan terakhir adalah tentang pembelajaran yang dapat diambil dari pengalaman Ibu Rista dalam pengambilan keputusan dilema etika. Ibu Rista menegaskan bahwa sebagai pemimpin, harus tegas dalam mengambil keputusan. Jika ada dua nilai yang bersinggungan, pertimbangan matang diperlukan agar keputusan yang diambil sesuai aturan dan tetap memiliki nilai kemanusiaan.

     


    Wawancara 2

    Berikut adalah hasil wawancara kedua saya dengan Kepala SDN Kembangan Utara 09 (Ibu Pur), menggunakan panduan pertanyaan wawancara yang telah disiapkan. Wawancara dilakukan pada hari Selasa, 6 Agustus 2024, di ruang guru.

    Setelah perbincangan singkat, wawancara dimulai dengan pertanyaan, "Bagaimana Ibu mengidentifikasi kasus yang merupakan dilema etika atau bujukan moral?" Ibu Pur menjawab bahwa untuk membedakan antara dilema etika dan bujukan moral, ia melihat apakah kasus tersebut melanggar aturan atau tidak. Jika tidak melanggar aturan, itu adalah dilema etika, tetapi jika melanggar aturan, itu adalah bujukan moral.

    Pertanyaan berikutnya adalah, "Bagaimana Ibu menjalankan pengambilan keputusan di sekolah, terutama untuk kasus di mana ada dua kepentingan yang sama-sama benar atau mengandung nilai kebajikan?" Ibu Pur menjelaskan bahwa jika kasus tersebut memiliki dua nilai kebajikan, diperlukan pertimbangan matang sebelum mengambil keputusan. Namun, jika hanya ada satu nilai kebajikan, keputusan harus diambil segera karena semakin cepat, semakin baik.

    Saya kemudian bertanya tentang langkah-langkah atau prosedur yang biasa dilakukan selama ini. Ibu Pur menjelaskan bahwa ia akan meminta pendapat guru-guru dan komite sebelum mengambil keputusan.

    Saat ditanya tentang hal-hal yang dianggap efektif dalam pengambilan keputusan pada kasus-kasus dilema etika, Ibu Pur menyatakan bahwa keputusan dianggap efektif jika diambil melalui diskusi bersama para guru, pemegang kebijakan dan mencapai mufakat yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

    Kemudian, saya menanyakan tantangan yang dihadapi dalam pengambilan keputusan pada kasus-kasus dilema etika. Ibu Pur menjelaskan bahwa tantangan terbesar adalah jika keinginan guru-guru berbeda dengan kebijakan dari dinas pendidikan.

    Selanjutnya, saya bertanya apakah ada tata kelola atau jadwal tertentu dalam penyelesaian kasus dilema etika, dan apakah kasus diselesaikan langsung di tempat atau melalui jadwal tertentu. Ibu Pur menjelaskan bahwa tidak ada jadwal pasti dalam penyelesaian kasus. Menyelesaikan di tempat atau tidak tergantung pada kasus yang terjadi, tetapi prosedur pengambilan keputusan selalu dilakukan setelah berkonsultasi pengawas dan Kasatlak Pendidikan.

    Ketika ditanya tentang orang atau faktor yang mempermudah pengambilan keputusan dalam kasus-kasus dilema etika, Ibu Pur menyebutkan bahwa guru-guru, dan komite sekolah adalah pihak-pihak yang mempermudah proses pengambilan keputusan.

    Pertanyaan terakhir dalam wawancara adalah mengenai pembelajaran yang dapat diambil dari pengalaman Ibu Pur dalam pengambilan keputusan dilema etika. Ibu Pur menyimpulkan bahwa pelajaran penting yang dapat diambil adalah berpegang teguh pada aturan, karena dengan begitu tidak akan ada perbedaan antara keinginan dinas dan pihak lain di sekolah.

     

    Refleksi

    Berikut adalah hasil kedua wawancara yang telah saya lakukan bersama dua pemimpin hebat yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk sekolah dan semua warga sekolah. Dari hasil wawancara tersebut, saya melakukan analisis dan refleksi dari hasil wawancara pertama dan kedua, menggunakan daftar tugas atau checklist yang terdiri dari enam pertanyaan. Hasil analisis dan refleksi ini akan saya coba jawab dalam bentuk narasi sebagai berikut.

    Pertanyaan refleksi pertama adalah hal-hal menarik apa yang muncul dari wawancara tersebut dan pertanyaan-pertanyaan yang masih mengganjal dari hasil wawancara bila dibandingkan dengan hal-hal yang saya pelajari seperti empat paradigma, tiga prinsip, dan sembilan langkah pengujian. Setelah mewawancarai dua kepala sekolah, hal-hal menarik yang muncul adalah bahwa nilai kasih sayang, kepedulian, dan kemanusiaan selalu menjadi prioritas dan bahan pertimbangan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan. Keadilan sangat penting, tetapi mempertimbangkan beberapa faktor untuk mencapai win-win solution adalah hal yang lebih baik agar tidak ada pihak yang dirugikan.

    Dari hasil wawancara dengan kedua pemimpin tersebut, ada persamaan dan perbedaan yang muncul. Persamaannya adalah cara mengidentifikasi kasus dan pertimbangan yang digunakan, yaitu keadilan versus rasa kasihan. Sedangkan perbedaannya adalah Ibu Rista lebih bebas dan tegas dalam mengambil keputusan karena memiliki pengalaman lebih lama sebagai kepala sekolah, sedangkan Ibu Pur lebih banyak mempertimbangkan berbagai faktor.

    Rencana ke depan para pimpinan dalam pengambilan keputusan yang mengandung unsur dilema etika adalah dengan terlebih dulu mengidentifikasi nilai-nilai yang bersinggungan dan mencari cara penyelesaian yang kreatif. Mereka bisa mengukur efektivitas pengambilan keputusan dengan melihat dampak atau efek setelah keputusan diambil.

    Pertanyaan keempat adalah bagaimana saya sendiri akan menerapkan pengambilan keputusan dalam situasi dilema etika di lingkungan saya, baik pada murid-murid maupun kolega guru lainnya. Saya akan menerapkannya mulai sekarang, menggunakan empat paradigma, tiga prinsip, dan sembilan langkah pengujian keputusan yang telah saya pelajari. 

    Pertanyaan kelima dari daftar checklist adalah tentang kejelasan suara atau tulisan di video atau blog naratif saya. Format apa yang akan saya gunakan? Sudahkah saya mengujinya, membacanya, dan melihat hasilnya, serta membayangkan bila orang lain membaca tulisan saya? Saya telah meminta rekan kerja saya untuk membaca hasil wawancara yang saya lakukan, dan mereka dapat memahaminya dengan baik.

    Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam narasi yang saya buat untuk menggambarkan proses kedua wawancara, namun saya tetap berharap orang-orang bisa membayangkan proses wawancara yang saya lakukan dan semoga memberikan manfaat.

    Pertanyaan terakhir dari daftar checklist adalah tentang durasi waktu atau panjang tulisan, apakah sudah diuji untuk waktu berbicara maksimal dan minimal, atau apakah sudah ditinjau isi dan panjang tulisan saya, serta kepadatan/intisari materi yang ingin saya sampaikan. Saya sudah memastikan bahwa jumlah kata yang saya gunakan melebihi batas minimal yang ada dalam rubrik, dan saya sudah berusaha membuat narasi yang menggambarkan semua hal yang ingin saya sampaikan.

    Demikianlah penjelasan hasil wawancara saya dengan Kepala SDN Kembangan Utara 09 dan 10, serta hasil analisis dan refleksi yang saya buat. Semoga tugas Demonstrasi Kontekstual Modul 3.1 Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin ini bermanfaat bagi para pembaca.

    August 08, 2024

    Koneksi Antarmateri Modul 3.1 - Ari Ermawan

    Nama saya Ari Ermawan, CGP angkatan 10 dari DKI Jakarta. Pada kesempatan ini akan memaparkan koneksi antarmateri modul 3.1. Filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan erat dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin karena keduanya menekankan pentingnya nilai-nilai moral, kemandirian, dan tanggung jawab. 

    Pratap Triloka terdiri dari tiga prinsip utama: Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah memberi semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan). Prinsip-prinsip ini membentuk dasar bagi seorang pemimpin dalam mengambil keputusan yang bijaksana dan beretika.

    1. Kaitan Filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pengambilan Keputusan:

      • Ing Ngarso Sung Tulodo: Sebagai pemimpin yang memberikan teladan, seorang pemimpin harus memiliki integritas dan nilai-nilai moral yang kuat. Pengambilan keputusan harus mencerminkan teladan yang baik.
      • Ing Madya Mangun Karsa: Di tengah memberi semangat, seorang pemimpin harus dapat menginspirasi dan memotivasi timnya. Pengambilan keputusan harus mempertimbangkan dampak pada semangat dan motivasi tim.
      • Tut Wuri Handayani: Di belakang memberi dorongan, seorang pemimpin harus mendukung dan memfasilitasi pertumbuhan anggota timnya. Keputusan harus memungkinkan pengembangan individu dan tim.
    2. Pengaruh Nilai-Nilai terhadap Prinsip Pengambilan Keputusan. Nilai-nilai yang tertanam dalam diri seseorang sangat mempengaruhi prinsip-prinsip yang diambil dalam pengambilan keputusan. Nilai-nilai ini mencakup integritas, keadilan, tanggung jawab, dan rasa empati. Seorang pemimpin yang memiliki nilai-nilai ini akan lebih cenderung mengambil keputusan yang adil, etis, dan bertanggung jawab.

    3. Materi Pengambilan Keputusan dan Kegiatan Coaching. Coaching atau bimbingan oleh pendamping atau fasilitator sangat membantu dalam proses pembelajaran pengambilan keputusan. Melalui coaching, individu dapat mengevaluasi efektivitas keputusan yang telah diambil, mengidentifikasi pertanyaan atau keraguan yang masih ada, dan menerima umpan balik konstruktif. Hal ini membantu individu untuk meningkatkan keterampilan pengambilan keputusan mereka.

    4. Kemampuan Guru dalam Mengelola Aspek Sosial Emosional. Guru yang mampu mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan lebih baik dalam menghadapi dilema etika. Kesadaran akan emosi dan empati memungkinkan guru untuk membuat keputusan yang lebih bijaksana dan etis, serta menciptakan lingkungan belajar yang mendukung.

    5. Pembahasan Studi Kasus dan Nilai-Nilai yang Dianut. Studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika sering kali kembali kepada nilai-nilai yang dianut oleh seorang pendidik. Nilai-nilai ini menjadi landasan dalam menilai dan memutuskan tindakan yang tepat dalam situasi tertentu.

    6. Dampak Pengambilan Keputusan yang Tepat. Pengambilan keputusan yang tepat berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman, dan nyaman. Keputusan yang baik membantu menciptakan rasa percaya dan keamanan di antara anggota tim atau siswa.

    7. Tantangan dalam Pengambilan Keputusan Terhadap Dilema Etika. Tantangan di lingkungan mungkin termasuk tekanan sosial, budaya organisasi, dan perubahan paradigma. Pemimpin perlu menavigasi tantangan ini dengan bijak dan tetap berpegang pada nilai-nilai inti mereka.

    8. Pengaruh Pengambilan Keputusan terhadap Pengajaran yang Memerdekakan. Pengambilan keputusan yang berfokus pada pemerdekaan murid memungkinkan pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan potensi masing-masing murid. Hal ini memastikan bahwa setiap murid mendapatkan pengalaman belajar yang optimal.

    9. Pengaruh Keputusan Pemimpin Pembelajaran terhadap Masa Depan Murid. Seorang pemimpin pembelajaran yang bijaksana dalam mengambil keputusan dapat memberikan dampak positif yang signifikan terhadap kehidupan dan masa depan murid-muridnya. Keputusan yang mendukung pengembangan holistik murid akan membantu mereka mencapai potensi penuh.

    10. Kesimpulan Akhir dari Pembelajaran Modul. Pemahaman tentang dilema etika, empat paradigma pengambilan keputusan, tiga prinsip pengambilan keputusan, dan sembilan langkah pengambilan dan pengujian keputusan sangat penting. Pembelajaran ini memberikan kerangka kerja yang jelas dan terstruktur untuk pengambilan keputusan yang lebih efektif dan etis.

    11. Pemahaman Konsep-Konsep Modul. Memahami konsep-konsep seperti dilema etika dan bujukan moral, serta prinsip dan langkah-langkah pengambilan keputusan, membantu individu dalam mengembangkan kemampuan pengambilan keputusan yang lebih baik. Hal ini memungkinkan refleksi yang mendalam dan evaluasi terhadap keputusan yang diambil.

    12. Pengalaman Pengambilan Keputusan Sebelum dan Sesudah Modul. Mempelajari modul ini memungkinkan individu untuk membandingkan pengalaman mereka sebelumnya dengan pengetahuan baru yang didapat. Perbedaan yang ditemukan sering kali mencakup pendekatan yang lebih terstruktur dan reflektif dalam menghadapi dilema etika.

    13. Dampak Pembelajaran Modul terhadap Cara Pengambilan Keputusan. Memahami konsep-konsep ini memungkinkan perubahan signifikan dalam cara pengambilan keputusan, dengan pendekatan yang lebih sadar, etis, dan berdasarkan nilai-nilai.

    14. Pentingnya Mempelajari Topik Modul. Mempelajari topik ini penting bagi individu dan pemimpin karena memberikan alat dan kerangka kerja yang diperlukan untuk membuat keputusan yang bijaksana dan etis. Hal ini berdampak langsung pada kualitas kepemimpinan dan pengembangan tim atau siswa.


    Dengan mempelajari dan menerapkan prinsip-prinsip ini, seorang pemimpin dapat membuat keputusan yang lebih baik, yang pada akhirnya akan menciptakan lingkungan yang positif dan mendukung bagi semua orang yang terlibat. 
    Demikian koneksi antarmateri yang saya paparkan, semoga bermanfaat bagi semua.



    July 29, 2024

    Jurnal Refleksi Dwimingguan - Ari Ermawan

    Saya Ari Ermawan, Calon Guru Penggerak Angkatan 10 DKI Jakarta. Dalam kesempatan ini, saya akan membahas Jurnal Refleksi Dwi Mingguan pada modul 2.3 tentang Coaching Untuk Supervisi Akademik. Jurnal ini merupakan refleksi diri setelah dua minggu kedua mengikuti kegiatan Pendidikan CGP, dan akan ditulis secara rutin setiap dua minggu sebagai tugas calon guru penggerak.


    Dalam menulis jurnal refleksi ini, saya menggunakan model 4F (Fact, Feeling, Findings, dan Future) yang dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway. 4F diterjemahkan menjadi 4P: Peristiwa, Perasaan, Pembelajaran, dan Penerapan.


    Peristiwa (Fact)

    Pada modul 2.3, saya mempelajari materi tentang Coaching Untuk Supervisi Akademik, dengan eksplorasi konsep yang terbagi dalam empat sub-pembelajaran: Konsep Coaching secara Umum dan dalam Konteks Pendidikan; Paradigma Berpikir dan Prinsip Coaching; Kompetensi Inti Coaching dan TIRTA sebagai Alur Percakapan Coaching; serta Supervisi Akademik dengan Paradigma Berpikir Coaching.



    Coaching didefinisikan sebagai proses kolaboratif yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil, dan sistematis, di mana coach memfasilitasi peningkatan performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi coachee (Grant, 1999). Coaching lebih tentang membantu seseorang belajar daripada mengajarinya.


    Sejalan dengan pendapat para ahli, International Coach Federation mendefinisikan coaching sebagai kemitraan dengan klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran serta proses kreatif. Berbagai tugas dalam sub-pembelajaran memberikan pengalaman berharga dalam memahami coaching, terutama latihan dan praktik coaching di Ruang Kolaborasi yang memungkinkan saya berperan sebagai coach dan coachee.


    Perasaan (Feeling)

    Saya bersyukur mendapatkan ilmu baru yang sangat berpengaruh terhadap profesi saya sebagai guru. Modul 2.3 memberikan banyak wawasan tentang coaching, yang berpuncak pada paradigma coaching dalam supervisi akademik. Supervisi akademik kini dipandang bukan hanya sebagai penilaian guru oleh supervisor (pihak manajemen sekolah), tetapi juga sebagai proses coaching yang lebih kolaboratif dan nyaman.


    Di modul ini, saya belajar banyak hal baru yang memotivasi saya untuk mengimplementasikan pengetahuan yang didapat. Diskusi di sesi ruang kolaborasi dan elaborasi semakin memperdalam pemahaman saya. Saya berharap ilmu ini meningkatkan keterampilan saya sebagai coach, baik untuk rekan sejawat, murid, maupun orang terdekat yang membutuhkan coaching untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi.


    Pembelajaran (Findings)

    Supervisi akademik bertujuan memastikan pembelajaran yang berfokus pada murid dan pengembangan kompetensi diri setiap pendidik di sekolah. Dalam hubungan antar-guru, seorang coach dapat membantu coachee menemukan kekuatannya dalam pembelajaran. Komunikasi dalam coaching adalah dialog yang emansipatif dan penuh kasih sayang.


    Paradigma berpikir coaching meliputi fokus pada coachee, sikap terbuka dan ingin tahu, kesadaran diri yang kuat, serta kemampuan melihat peluang baru dan masa depan. Prinsip coaching mencakup kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi. Kompetensi inti coaching meliputi kehadiran penuh, mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Percakapan coaching menggunakan alur TIRTA: perencanaan, pemecahan masalah, refleksi, dan kalibrasi.


    Umpan balik berbasis coaching melibatkan pertanyaan reflektif dan data yang valid. Supervisi akademik bertujuan memberikan dampak langsung pada guru dan pembelajaran mereka di kelas, dengan dua paradigma utama: pengembangan kompetensi berkelanjutan dan optimalisasi potensi individu.


    Penerapan (Future)

    Setelah mempelajari modul 2.3, saya bertekad untuk mempraktikkan tiga kompetensi inti coaching: kehadiran penuh, mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot dalam percakapan coaching. Saya akan membuat rencana, melakukan refleksi, memecahkan masalah, dan kalibrasi. Memberikan umpan balik dengan paradigma berpikir dan prinsip coaching, serta mempraktikkan supervisi akademik berdasarkan paradigma coaching. Saya akan terus meningkatkan kemampuan coaching dengan berlatih dan mempraktikkannya dengan rekan sejawat, murid, dan siapa pun yang membutuhkan, untuk menambah jam terbang.

    July 26, 2024

    Koneksi Antarmateri Modul 2.3 Ari Ermawan

    Koneksi Antarmateri Modul 2.3 Ari Ermawan

    CGP Angkatan 10 
    SDN Kembangan Utara 10

    Materi pada modul 2, bagian 2.3 adalah Coaching dalam Supervisi Akademik. 

    Apa peran Anda sebagai seorang coach di sekolah dan bagaimana kaitannya dengan materi sebelumnya dalam paket modul 2, yaitu pembelajaran sosial dan emosional? Saya merasa peran saya masih pada tahap belajar dan pemula, karena saya sadar bahwa saya masih dalam proses belajar. Coaching memerlukan latihan berkelanjutan agar semakin mahir dalam penerapannya. Keterkaitannya dengan pembelajaran sosial dan emosional sangat erat, karena coaching memerlukan kemampuan mental dan sikap yang baik agar dapat dilakukan dengan kesadaran penuh.

    Dalam modul 2.3, saya mempelajari supervisi akademik dengan tujuan pengembangan kompetensi diri bagi setiap pendidik di sekolah. Pendekatan yang digunakan adalah coaching dengan tiga prinsip utama: kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi. Kompetensi inti coaching mencakup kehadiran penuh, mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Percakapan berbasis coaching mengikuti alur TIRTA: Tujuan, Identitas, Rencana Aksi, dan Tanggung Jawab. Ada tiga tahapan dalam supervisi akademik yaitu praobservasi (perencanaan), observasi (pelaksanaan), dan pascaobservasi (tindak lanjut).

    Saya merasakan cemas saat pertama kali mempelajari coaching, karena khawatir tidak bisa memahami dan menerapkannya dengan baik. Namun, saya juga merasa tertarik setelah mulai membaca dan mempelajari konsepnya yang ternyata sangat bermanfaat untuk pengembangan diri. Saya merasa senang ketika bisa memahami cara coaching dengan benar, meskipun awalnya saya melakukan kesalahan dengan memberikan solusi langsung, yang seharusnya tidak dilakukan dalam coaching. Setelah itu, saya merasa optimis untuk menerapkannya dalam kehidupan nyata.

    Selama proses belajar, saya menemukan hal-hal positif yang perlu dipertahankan, seperti kolaborasi dengan rekan-rekan lainnya sebagai coach, coachee, dan observer. Namun, saya juga harus memperbaiki kemampuan berkomunikasi, khususnya dalam pemilihan kata dan mengajukan pertanyaan berbobot, karena saya merasa pertanyaan saya belum optimal dalam menggali ide atau pikiran coachee.

    Kompetensi dan kematangan pribadi saya meningkat setelah mempelajari modul 2.3. Saya kini lebih percaya diri dalam melakukan coaching, karena sudah memahami alur yang harus dilalui dan bisa memposisikan diri sebagai coach, coachee, maupun observer. Saya harus melatih diri untuk menghindari asumsi, pelabelan, dan pemberian solusi langsung, agar proses coaching berjalan dengan lancar.


    Konektivitas materi ini dengan supervisi akademik sangat relevan. Jika kepala sekolah memahami coaching, supervisi akan lebih bermakna dan tidak membuat guru yang disupervisi merasa tertekan. Supervisi seharusnya tidak hanya sebagai penilaian rutin, tetapi juga sebagai upaya mencari solusi bersama dan meningkatkan proses pembelajaran, terutama melalui komunikasi yang efektif. Dengan adanya praobservasi, observasi, dan pascaobservasi, tujuan supervisi dapat terwujud melalui komunikasi dua arah.

    Coaching dalam supervisi akademik memberikan dampak positif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang berpihak pada siswa. Pemimpin pembelajaran harus memahami perkembangan siswa secara holistik, meliputi kognitif, karakter, dan aspek sosial emosional. Tujuan coaching adalah mengembangkan kompetensi guru untuk meningkatkan kinerja dan mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada siswa.

    Tantangan utama adalah menyamakan pemahaman tentang coaching dalam supervisi akademik di komunitas sekolah, yang seringkali dianggap sebagai penilaian rutin tanpa tindak lanjut. Untuk itu, saya akan aktif melakukan sosialisasi dan berbagi pengetahuan untuk menyamakan persepsi tentang supervisi akademik. Langkah konkret termasuk memberikan contoh praktik coaching melalui berbagai media digital yang dapat diakses oleh seluruh komunitas sekolah.

    Saya juga membandingkan pengalaman masa lalu dengan masa depan. Dulu, supervisi hanya rutinitas tanpa makna mendalam, tidak ada praobservasi atau pascaobservasi. Kini, saya akan menjadikan supervisi sebagai bagian dari cara meningkatkan kompetensi saya sebagai guru dengan prinsip coaching: kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi.

    Selain itu, pembelajaran pada modul 3.2 tentang coaching dalam supervisi akademik terhubung dengan pembelajaran sebelumnya di modul 2.1 tentang pembelajaran berdiferensiasi, yang juga bertujuan memaksimalkan potensi. Modul 2.2 membahas teknik STOP dan Mindfulness yang mendukung kehadiran penuh dalam coaching.


    July 11, 2024

    Refleksi 4P Modul 2.2 Ari Ermawan

     

    Peristiwa

    Dalam proses implementasi pembelajaran sosial dan emosional, saya memulai dengan mengadakan sesi perkenalan yang interaktif di mana siswa diajak untuk berbagi pengalaman dan perasaan mereka secara terbuka. Selanjutnya, saya mengintegrasikan kegiatan kolaboratif seperti diskusi kelompok dan permainan peran untuk mengajarkan empati dan kerjasama. Saya juga menggunakan metode pembelajaran berbasis proyek di mana siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan proyek yang berfokus pada isu sosial tertentu.

    Perasaan

    Selama proses tersebut, saya merasa sangat terinspirasi dan termotivasi. Melihat siswa aktif terlibat dan saling mendukung satu sama lain memberikan kepuasan tersendiri. Namun, ada juga momen-momen tantangan, terutama ketika beberapa siswa kesulitan untuk terbuka atau berkolaborasi. Meskipun demikian, secara keseluruhan, saya merasa bangga dengan progres yang telah dicapai.

    Pembelajaran

    Hal yang paling bermanfaat dari proses ini adalah meningkatnya kesadaran dan kemampuan siswa dalam memahami dan mengelola emosi mereka sendiri serta empati terhadap orang lain. Saya melihat adanya peningkatan dalam komunikasi antar siswa dan kemampuan mereka untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang konstruktif. Umpan balik dari rekan sejawat juga sangat positif, mereka mengapresiasi pendekatan yang saya gunakan dan melihat dampak positifnya pada siswa.

    Penerapan

    Untuk meningkatkan dampak dari pembelajaran sosial dan emosional ini, saya berencana untuk lebih mendalami teknik-teknik yang dapat membantu siswa yang masih kesulitan untuk terbuka. Saya juga akan mengadakan sesi pelatihan dan diskusi dengan rekan guru lainnya untuk berbagi pengalaman dan strategi, sehingga pendekatan ini dapat diterapkan lebih luas di sekolah. Selain itu, saya ingin mengembangkan modul tambahan yang dapat digunakan oleh guru lain untuk memperkaya pembelajaran sosial dan emosional di kelas mereka.

    Koneksi Antarmateri Modul 2.2 Ari Ermawan

    Assalamualaikum. Saya Ari Ermawan, CGP Angkatan 10 dari SDN Kembangan Utara 10 DKI Jakarta pada kesempatan ini menuliskan koneksi antarmateri modul 2.2.

    Menurut Ki Hajar Dewantara (KHD), seorang pendidik adalah penuntun yang membimbing segala potensi alami yang dimiliki oleh anak-anak, sehingga mereka bisa mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan tertinggi sebagai individu dan anggota masyarakat. Pandangan KHD ini mengingatkan bahwa peran pendidik sebagai pemimpin dalam pembelajaran adalah untuk menumbuhkan motivasi siswa, membangun minat yang mendalam terhadap materi dengan merancang pengalaman belajar yang menarik dan bermakna. Kita secara sengaja merencanakan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan siswa untuk mengembangkan potensinya.

    Pentingnya proses pendidikan yang holistik untuk perkembangan siswa telah menjadi perhatian para pendidik sejak lama. Kesadaran ini berakar dari teori Kecerdasan Emosi oleh Daniel Goleman, yang kemudian melahirkan CASEL (Collaborative for Academic, Social and Emotional Learning) pada tahun 1995.

    Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) yang didasarkan pada kerangka CASEL ini dikembangkan oleh Daniel Goleman bersama tim pendidik, peneliti, dan pendamping anak. Konsep PSE yang berbasis penelitian ini bertujuan untuk mendorong perkembangan positif anak melalui program-program yang terkoordinasi dengan berbagai pihak dalam komunitas sekolah.

    PSE merupakan pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak, pendidik, dan tenaga kependidikan di sekolah untuk memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif terkait aspek sosial dan emosional. Dengan demikian, PSE membantu membentuk lingkungan sekolah yang mendukung perkembangan holistik anak, tidak hanya dalam aspek akademis tetapi juga dalam aspek sosial dan emosional. Melalui kerja sama yang erat antara semua pihak di sekolah, siswa dapat belajar mengelola emosi, membangun hubungan yang positif, dan membuat keputusan yang bertanggung jawab, yang semuanya penting untuk kesuksesan mereka di masa depan.

     

    Tujuan Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE)

    ·       Memahami, menghayati dan mengelola emosi (kesadaran diri)

    ·       Menetapkan dan mencapai tujuan positif (manajemen diri)

    ·       Merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial)

    ·       Membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan membangun relasi)

    ·       Membuat keputusan yang bertanggung jawab (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab)

     

    Lima Kompetensi Sosial dan Emosional (KSE):

    1. Kesadaran Diri: Kemampuan untuk mengenali perasaan, emosi, dan nilai-nilai pribadi serta memahami bagaimana hal tersebut mempengaruhi perilaku dalam berbagai situasi kehidupan.
    2. Manajemen Diri: Kemampuan untuk mengendalikan emosi, pikiran, dan tindakan secara efektif dalam berbagai situasi demi mencapai tujuan dan aspirasi.
    3. Kesadaran Sosial: Kemampuan untuk memahami perspektif dan menunjukkan empati terhadap orang lain, termasuk mereka yang berasal dari latar belakang, budaya, dan konteks yang berbeda.
    4. Keterampilan Berelasi: Kemampuan untuk menjalin dan mempertahankan hubungan yang sehat dan suportif.
    5. Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab: Kemampuan untuk membuat pilihan yang bijaksana, berdasarkan kepedulian, standar etis, dan keselamatan, serta mengevaluasi manfaat dan konsekuensi dari berbagai tindakan demi kesejahteraan diri sendiri, masyarakat, dan kelompok.

    Well-Being: Well-being adalah kondisi di mana seseorang merasa nyaman, sehat, dan bahagia. Individu yang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan dan mengatur perilakunya, memenuhi kebutuhannya dengan baik, serta memiliki tujuan hidup yang membuat hidup mereka bermakna. Mereka juga terus berupaya mengeksplorasi dan mengembangkan diri.

    Implementasi Kompetensi Sosial dan Emosional:

    • Pengajaran KSE secara eksplisit: Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan, melatih, dan merefleksikan kompetensi sosial dan emosional secara khusus, sesuai dengan perkembangan budaya.
    • Integrasi KSE dalam praktik mengajar dan kurikulum akademik: Mengintegrasikan tujuan KSE ke dalam konten dan strategi pembelajaran, termasuk materi akademik, musik, seni, dan pendidikan jasmani.
    • Penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah: Menciptakan lingkungan belajar yang mendukung pengembangan kompetensi sosial dan emosional, responsif terhadap budaya, serta berfokus pada pembangunan hubungan dan komunitas.

    Kesadaran Diri (Mindfulness): PSE berbasis mindfulness memberikan perhatian berkualitas yang didasarkan pada keterbukaan pikiran, rasa ingin tahu tanpa menghakimi, dan kebaikan hati. Hal ini membantu seseorang menghadapi situasi-situasi menantang dan sulit, serta meningkatkan penghargaan terhadap perbedaan, pemahaman diri dan orang lain, kemampuan menghadapi tantangan, dan perspektif yang beragam (resiliensi).

    Penerapan PSE di Kelas:

    • PSE Rutin: Penerapan PSE yang dijadwalkan, seperti kegiatan membuat lingkaran pagi hari di mana siswa menyampaikan atau menulis apa yang akan dicapai selama belajar pada hari tersebut.
    • PSE Terintegrasi: Mengintegrasikan PSE dalam pelajaran dengan diskusi kasus atau penyelesaian masalah secara berkelompok.
    • PSE Protokol: Kegiatan sekolah yang menjadi tata tertib dan kebijakan, seperti membangun hubungan sosial yang positif dan penyelesaian masalah tanpa kekerasan.

    PSE Teknik STOP: STOP (Stop, Take a deep breath, Observe, Proceed) adalah teknik pembelajaran yang membantu membangun mindfulness, meredakan ketegangan, dan mengembalikan fokus siswa.

    Keterkaitan Antar Materi:

    PSE terhubung dengan filosofi pendidikan KHD, nilai dan peran Guru Penggerak, visi Guru Penggerak, budaya positif, dan pembelajaran berdiferensiasi. Pengabaian pengembangan keterampilan sosial dan emosional dapat berdampak buruk secara akademik, sementara perkembangan sosial dan emosional yang selaras dengan perkembangan akademik sangat penting.

    Tiga Hal Mendasar dan Penting:

    1. Peningkatan lima kompetensi sosial emosional: Kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
    2. Kesadaran penuh (mindfulness): Sebagai dasar penguatan lima kompetensi sosial dan emosional.
    3. Penerapan PSE berbasis mindfulness: Mendukung terwujudnya well-being ekosistem sekolah.

    Perubahan di Kelas dan Sekolah:

    • Untuk murid:
      • Pengajaran eksplisit: Memastikan murid memiliki kesempatan konsisten untuk menumbuhkan, melatih, dan merefleksikan lima KSE.
      • Pembelajaran akademik terintegrasi KSE: Mengintegrasikan KSE ke dalam konten dan strategi pembelajaran.
      • Keterlibatan murid: Menghormati dan meningkatkan perspektif dan pengalaman murid dengan melibatkan mereka sebagai pemimpin, pemecah masalah, dan pembuat keputusan.
    • Untuk rekan sejawat:
      • Menjadi teladan: Menerapkan KSE dalam peran dan tugas, menciptakan budaya apresiasi, dan menumbuhkan rasa peduli.
      • Belajar: Melakukan refleksi KSE pribadi, berkolaborasi, mengembangkan pola pikir bertumbuh, memahami tahapan perkembangan murid, dan meluangkan waktu untuk introspeksi.
      • Berkolaborasi: Membuat kesepakatan bersama, membentuk komunitas belajar profesional, sistem mentoring, dan mengintegrasikan KSE dalam rapat guru.

    Peran pendidik adalah tugas mulia yang memerlukan ketekunan dan kesabaran. Mari terus belajar, berefleksi, bertumbuh, berbagi, dan berkolaborasi demi kemajuan murid-murid kita.

     

    July 06, 2024

    Jurnal Refleksi Dwi Mingguan Modul 2.2

     Jurnal Refleksi Dwi Mingguan Modul 2.2

    Oleh: Ari Ermawan

    SDN Kembangan Utara 10


    Saya Ari Ermawan, Calon Guru Penggerak Angkatan 10 dari DKI Jakarta. Kali ini Saya akan melakukan refleksi kegiatan Saya pada modul 2.2. Dalam merefleksikan pengalaman Saya, Saya menggunakan Model 4F (Fact, Feelings, Findings dan Future) atau 4P (Peristiwa, Perasaan, Pembelajaran dan Penerapan):

     

    1. FACT (Peristiwa)

     Pada hari Selasa, 25 Juni 2024 saya memulai modul 2.2. Pembelajaran Sosial dan Emosional. Dalam modul ini saya mempelajari mengenai hal-hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelaaran sosial emosional melalui ekplorasi konsep. Ada 5 kasus dalam ekplorasi konsep yang harus dianalisis pemecahan masalahnya berkaitan dengan pembelajaran sosial emosional. Pada tanggal 27 dan 28 Juni kami melakukan diskusi melalui ruang kolaborasi mempresentasikan hasil diskusi kelompok, kemudian pada tanggal 3 Juli kami mengikuti sesi Elaborasi pemahaman,

     

    2. FEELINGS (Perasaan)

     Saya merasa sangat senang mempelajari materi pembelajaran sosial dan emosional ini karena semakin memperdalam pemahaman saya tentang bagaimana memahami kondisi peserta didik dalam pelaksanaan pembelajaran. Melalui materi ini, saya belajar untuk lebih peka terhadap perasaan, kebutuhan, dan tantangan yang dihadapi oleh siswa. Pemahaman ini memungkinkan saya untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan suportif, di mana setiap siswa merasa dihargai dan didukung dalam proses belajarnya. Selain itu, pengetahuan tentang aspek sosial dan emosional ini membantu saya mengenali tanda-tanda stres atau kecemasan pada siswa, sehingga saya dapat memberikan intervensi yang tepat untuk membantu mereka mengatasi hambatan tersebut.

    Saya berpikir bahwa kesuksesan pembelajaran bukan hanya tentang menyelesaikan suatu materi pembelajaran, namun bagaimana murid mampu memahami pelajaran tersebut secara lebih mendalam dan bermakna bagi kehidupannya. Pembelajaran yang efektif tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga melibatkan pengembangan keterampilan sosial dan emosional. Ketika siswa mampu mengaitkan materi pelajaran dengan pengalaman pribadi dan kehidupan sehari-hari mereka, mereka akan lebih mudah menginternalisasi pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan. Dengan demikian, pembelajaran menjadi lebih relevan dan bermanfaat bagi perkembangan mereka secara keseluruhan.

    Pemahaman yang lebih mendalam tentang pembelajaran sosial dan emosional juga mengajarkan saya pentingnya membangun hubungan yang positif antara guru dan siswa. Hubungan yang baik antara guru dan siswa dapat meningkatkan motivasi belajar dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Ketika siswa merasa dihargai dan didukung oleh gurunya, mereka cenderung lebih bersemangat untuk belajar dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan kelas. Selain itu, hubungan yang kuat dengan siswa memungkinkan guru untuk lebih memahami kebutuhan individu mereka, sehingga dapat memberikan pendekatan pembelajaran yang lebih personal dan efektif.

    Secara keseluruhan, mempelajari materi pembelajaran sosial dan emosional telah membuka wawasan saya tentang pentingnya memahami siswa sebagai individu yang unik dengan berbagai kebutuhan dan potensi. Saya menyadari bahwa peran guru tidak hanya sebagai penyampai materi pelajaran, tetapi juga sebagai pembimbing yang membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang penting bagi kehidupan mereka. Dengan demikian, saya berkomitmen untuk terus mengembangkan diri dalam aspek ini, agar dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih bermakna dan holistik bagi siswa-siswa saya.

     

    3. FINDINGS (Pembelajaran)

     Dari hasil mempelajari modul pembelajaran sosial emosional ini, saya mendapatkan banyak hal yang sangat bermanfaat. Salah satunya adalah pemahaman tentang pentingnya membuat program pembelajaran yang berpihak pada murid. Program tersebut harus memuat konten yang memberikan suara kepada murid, memungkinkan mereka untuk memilih  bagaimana mereka belajar, dan memberikan kepemilikan atas proses pembelajaran mereka. Dengan melibatkan murid secara aktif dalam proses ini, mereka merasa lebih dihargai dan termotivasi untuk belajar.

    Pada akhirnya, pembelajaran yang dirancang dengan baik melibatkan sosial dan emosional murid dan terkelola dengan baik akan melahirkan murid yang memiliki Profil Pelajar Pancasila. Profil ini mencakup karakteristik siswa yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, gotong royong, dan berkebinekaan global. Dengan pendekatan yang menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran dan mengembangkan aspek sosial serta emosional mereka, kita dapat membantu mereka menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kepribadian yang kuat dan siap menghadapi tantangan di masa depan.

     

    4. FUTURE (Penerapan)

     Penerapan pembelajaran sosial emosional (PSE) di sekolah dimulai dengan evaluasi awal untuk memahami kebutuhan sosial dan emosional siswa serta kapasitas sekolah dalam memenuhinya. Langkah ini melibatkan pemetaan aset yang ada, seperti sumber daya manusia dan fasilitas, serta program yang sudah berjalan melalui survei, wawancara, atau diskusi kelompok dengan siswa, guru, dan orang tua. Setelah kebutuhan teridentifikasi, kurikulum PSE yang terintegrasi dengan kurikulum akademik disusun, mencakup tujuan pembelajaran sosial dan emosional, strategi pengajaran, serta metode evaluasi. Guru dan staf kemudian mendapatkan pelatihan khusus tentang PSE untuk memastikan mereka siap dan mampu mengimplementasikannya, dengan pelatihan berkelanjutan dan dukungan profesional sebagai kunci keberlanjutan program.

    PSE diintegrasikan ke dalam semua aspek kegiatan sekolah, baik di dalam maupun di luar kelas, melalui pengajaran aktif keterampilan sosial dan emosional oleh guru dan penciptaan lingkungan belajar yang aman dan mendukung. Monitoring dan evaluasi secara berkala dilakukan untuk menilai efektivitas program melalui observasi kelas, penilaian siswa, serta feedback dari guru, siswa, dan orang tua, dan hasil evaluasi digunakan untuk melakukan perbaikan dan penyesuaian program. Pelibatan orang tua dan komunitas juga menjadi bagian penting, dengan sekolah mengadakan workshop atau pertemuan untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya PSE dan bagaimana mereka bisa mendukungnya di rumah, serta kerjasama dengan komunitas untuk memperkaya program melalui berbagai kegiatan dan sumber daya tambahan.

    Agar program PSE berjalan dengan baik, diperlukan kebijakan sekolah yang mendukung seperti kebijakan anti-bullying dan kebijakan kesejahteraan siswa yang memberikan kerangka kerja yang jelas bagi guru, staf, dan siswa. Dengan rencana penerapan yang matang dan dukungan dari seluruh komunitas sekolah, pembelajaran sosial emosional diharapkan dapat memberikan dampak positif yang signifikan terhadap perkembangan siswa, tidak hanya secara akademis tetapi juga dalam keterampilan sosial dan emosional yang penting untuk kehidupan mereka di masa depan.

     Terima kasih

     

    Komentar Terkini