July 29, 2024

Jurnal Refleksi Dwimingguan - Ari Ermawan

Saya Ari Ermawan, Calon Guru Penggerak Angkatan 10 DKI Jakarta. Dalam kesempatan ini, saya akan membahas Jurnal Refleksi Dwi Mingguan pada modul 2.3 tentang Coaching Untuk Supervisi Akademik. Jurnal ini merupakan refleksi diri setelah dua minggu kedua mengikuti kegiatan Pendidikan CGP, dan akan ditulis secara rutin setiap dua minggu sebagai tugas calon guru penggerak.


Dalam menulis jurnal refleksi ini, saya menggunakan model 4F (Fact, Feeling, Findings, dan Future) yang dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway. 4F diterjemahkan menjadi 4P: Peristiwa, Perasaan, Pembelajaran, dan Penerapan.


Peristiwa (Fact)

Pada modul 2.3, saya mempelajari materi tentang Coaching Untuk Supervisi Akademik, dengan eksplorasi konsep yang terbagi dalam empat sub-pembelajaran: Konsep Coaching secara Umum dan dalam Konteks Pendidikan; Paradigma Berpikir dan Prinsip Coaching; Kompetensi Inti Coaching dan TIRTA sebagai Alur Percakapan Coaching; serta Supervisi Akademik dengan Paradigma Berpikir Coaching.



Coaching didefinisikan sebagai proses kolaboratif yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil, dan sistematis, di mana coach memfasilitasi peningkatan performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi coachee (Grant, 1999). Coaching lebih tentang membantu seseorang belajar daripada mengajarinya.


Sejalan dengan pendapat para ahli, International Coach Federation mendefinisikan coaching sebagai kemitraan dengan klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran serta proses kreatif. Berbagai tugas dalam sub-pembelajaran memberikan pengalaman berharga dalam memahami coaching, terutama latihan dan praktik coaching di Ruang Kolaborasi yang memungkinkan saya berperan sebagai coach dan coachee.


Perasaan (Feeling)

Saya bersyukur mendapatkan ilmu baru yang sangat berpengaruh terhadap profesi saya sebagai guru. Modul 2.3 memberikan banyak wawasan tentang coaching, yang berpuncak pada paradigma coaching dalam supervisi akademik. Supervisi akademik kini dipandang bukan hanya sebagai penilaian guru oleh supervisor (pihak manajemen sekolah), tetapi juga sebagai proses coaching yang lebih kolaboratif dan nyaman.


Di modul ini, saya belajar banyak hal baru yang memotivasi saya untuk mengimplementasikan pengetahuan yang didapat. Diskusi di sesi ruang kolaborasi dan elaborasi semakin memperdalam pemahaman saya. Saya berharap ilmu ini meningkatkan keterampilan saya sebagai coach, baik untuk rekan sejawat, murid, maupun orang terdekat yang membutuhkan coaching untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi.


Pembelajaran (Findings)

Supervisi akademik bertujuan memastikan pembelajaran yang berfokus pada murid dan pengembangan kompetensi diri setiap pendidik di sekolah. Dalam hubungan antar-guru, seorang coach dapat membantu coachee menemukan kekuatannya dalam pembelajaran. Komunikasi dalam coaching adalah dialog yang emansipatif dan penuh kasih sayang.


Paradigma berpikir coaching meliputi fokus pada coachee, sikap terbuka dan ingin tahu, kesadaran diri yang kuat, serta kemampuan melihat peluang baru dan masa depan. Prinsip coaching mencakup kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi. Kompetensi inti coaching meliputi kehadiran penuh, mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Percakapan coaching menggunakan alur TIRTA: perencanaan, pemecahan masalah, refleksi, dan kalibrasi.


Umpan balik berbasis coaching melibatkan pertanyaan reflektif dan data yang valid. Supervisi akademik bertujuan memberikan dampak langsung pada guru dan pembelajaran mereka di kelas, dengan dua paradigma utama: pengembangan kompetensi berkelanjutan dan optimalisasi potensi individu.


Penerapan (Future)

Setelah mempelajari modul 2.3, saya bertekad untuk mempraktikkan tiga kompetensi inti coaching: kehadiran penuh, mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot dalam percakapan coaching. Saya akan membuat rencana, melakukan refleksi, memecahkan masalah, dan kalibrasi. Memberikan umpan balik dengan paradigma berpikir dan prinsip coaching, serta mempraktikkan supervisi akademik berdasarkan paradigma coaching. Saya akan terus meningkatkan kemampuan coaching dengan berlatih dan mempraktikkannya dengan rekan sejawat, murid, dan siapa pun yang membutuhkan, untuk menambah jam terbang.

July 26, 2024

Koneksi Antarmateri Modul 2.3 Ari Ermawan

Koneksi Antarmateri Modul 2.3 Ari Ermawan

CGP Angkatan 10 
SDN Kembangan Utara 10

Materi pada modul 2, bagian 2.3 adalah Coaching dalam Supervisi Akademik. 

Apa peran Anda sebagai seorang coach di sekolah dan bagaimana kaitannya dengan materi sebelumnya dalam paket modul 2, yaitu pembelajaran sosial dan emosional? Saya merasa peran saya masih pada tahap belajar dan pemula, karena saya sadar bahwa saya masih dalam proses belajar. Coaching memerlukan latihan berkelanjutan agar semakin mahir dalam penerapannya. Keterkaitannya dengan pembelajaran sosial dan emosional sangat erat, karena coaching memerlukan kemampuan mental dan sikap yang baik agar dapat dilakukan dengan kesadaran penuh.

Dalam modul 2.3, saya mempelajari supervisi akademik dengan tujuan pengembangan kompetensi diri bagi setiap pendidik di sekolah. Pendekatan yang digunakan adalah coaching dengan tiga prinsip utama: kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi. Kompetensi inti coaching mencakup kehadiran penuh, mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Percakapan berbasis coaching mengikuti alur TIRTA: Tujuan, Identitas, Rencana Aksi, dan Tanggung Jawab. Ada tiga tahapan dalam supervisi akademik yaitu praobservasi (perencanaan), observasi (pelaksanaan), dan pascaobservasi (tindak lanjut).

Saya merasakan cemas saat pertama kali mempelajari coaching, karena khawatir tidak bisa memahami dan menerapkannya dengan baik. Namun, saya juga merasa tertarik setelah mulai membaca dan mempelajari konsepnya yang ternyata sangat bermanfaat untuk pengembangan diri. Saya merasa senang ketika bisa memahami cara coaching dengan benar, meskipun awalnya saya melakukan kesalahan dengan memberikan solusi langsung, yang seharusnya tidak dilakukan dalam coaching. Setelah itu, saya merasa optimis untuk menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Selama proses belajar, saya menemukan hal-hal positif yang perlu dipertahankan, seperti kolaborasi dengan rekan-rekan lainnya sebagai coach, coachee, dan observer. Namun, saya juga harus memperbaiki kemampuan berkomunikasi, khususnya dalam pemilihan kata dan mengajukan pertanyaan berbobot, karena saya merasa pertanyaan saya belum optimal dalam menggali ide atau pikiran coachee.

Kompetensi dan kematangan pribadi saya meningkat setelah mempelajari modul 2.3. Saya kini lebih percaya diri dalam melakukan coaching, karena sudah memahami alur yang harus dilalui dan bisa memposisikan diri sebagai coach, coachee, maupun observer. Saya harus melatih diri untuk menghindari asumsi, pelabelan, dan pemberian solusi langsung, agar proses coaching berjalan dengan lancar.


Konektivitas materi ini dengan supervisi akademik sangat relevan. Jika kepala sekolah memahami coaching, supervisi akan lebih bermakna dan tidak membuat guru yang disupervisi merasa tertekan. Supervisi seharusnya tidak hanya sebagai penilaian rutin, tetapi juga sebagai upaya mencari solusi bersama dan meningkatkan proses pembelajaran, terutama melalui komunikasi yang efektif. Dengan adanya praobservasi, observasi, dan pascaobservasi, tujuan supervisi dapat terwujud melalui komunikasi dua arah.

Coaching dalam supervisi akademik memberikan dampak positif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang berpihak pada siswa. Pemimpin pembelajaran harus memahami perkembangan siswa secara holistik, meliputi kognitif, karakter, dan aspek sosial emosional. Tujuan coaching adalah mengembangkan kompetensi guru untuk meningkatkan kinerja dan mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada siswa.

Tantangan utama adalah menyamakan pemahaman tentang coaching dalam supervisi akademik di komunitas sekolah, yang seringkali dianggap sebagai penilaian rutin tanpa tindak lanjut. Untuk itu, saya akan aktif melakukan sosialisasi dan berbagi pengetahuan untuk menyamakan persepsi tentang supervisi akademik. Langkah konkret termasuk memberikan contoh praktik coaching melalui berbagai media digital yang dapat diakses oleh seluruh komunitas sekolah.

Saya juga membandingkan pengalaman masa lalu dengan masa depan. Dulu, supervisi hanya rutinitas tanpa makna mendalam, tidak ada praobservasi atau pascaobservasi. Kini, saya akan menjadikan supervisi sebagai bagian dari cara meningkatkan kompetensi saya sebagai guru dengan prinsip coaching: kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi.

Selain itu, pembelajaran pada modul 3.2 tentang coaching dalam supervisi akademik terhubung dengan pembelajaran sebelumnya di modul 2.1 tentang pembelajaran berdiferensiasi, yang juga bertujuan memaksimalkan potensi. Modul 2.2 membahas teknik STOP dan Mindfulness yang mendukung kehadiran penuh dalam coaching.


July 11, 2024

Refleksi 4P Modul 2.2 Ari Ermawan

 

Peristiwa

Dalam proses implementasi pembelajaran sosial dan emosional, saya memulai dengan mengadakan sesi perkenalan yang interaktif di mana siswa diajak untuk berbagi pengalaman dan perasaan mereka secara terbuka. Selanjutnya, saya mengintegrasikan kegiatan kolaboratif seperti diskusi kelompok dan permainan peran untuk mengajarkan empati dan kerjasama. Saya juga menggunakan metode pembelajaran berbasis proyek di mana siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan proyek yang berfokus pada isu sosial tertentu.

Perasaan

Selama proses tersebut, saya merasa sangat terinspirasi dan termotivasi. Melihat siswa aktif terlibat dan saling mendukung satu sama lain memberikan kepuasan tersendiri. Namun, ada juga momen-momen tantangan, terutama ketika beberapa siswa kesulitan untuk terbuka atau berkolaborasi. Meskipun demikian, secara keseluruhan, saya merasa bangga dengan progres yang telah dicapai.

Pembelajaran

Hal yang paling bermanfaat dari proses ini adalah meningkatnya kesadaran dan kemampuan siswa dalam memahami dan mengelola emosi mereka sendiri serta empati terhadap orang lain. Saya melihat adanya peningkatan dalam komunikasi antar siswa dan kemampuan mereka untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang konstruktif. Umpan balik dari rekan sejawat juga sangat positif, mereka mengapresiasi pendekatan yang saya gunakan dan melihat dampak positifnya pada siswa.

Penerapan

Untuk meningkatkan dampak dari pembelajaran sosial dan emosional ini, saya berencana untuk lebih mendalami teknik-teknik yang dapat membantu siswa yang masih kesulitan untuk terbuka. Saya juga akan mengadakan sesi pelatihan dan diskusi dengan rekan guru lainnya untuk berbagi pengalaman dan strategi, sehingga pendekatan ini dapat diterapkan lebih luas di sekolah. Selain itu, saya ingin mengembangkan modul tambahan yang dapat digunakan oleh guru lain untuk memperkaya pembelajaran sosial dan emosional di kelas mereka.

Koneksi Antarmateri Modul 2.2 Ari Ermawan

Assalamualaikum. Saya Ari Ermawan, CGP Angkatan 10 dari SDN Kembangan Utara 10 DKI Jakarta pada kesempatan ini menuliskan koneksi antarmateri modul 2.2.

Menurut Ki Hajar Dewantara (KHD), seorang pendidik adalah penuntun yang membimbing segala potensi alami yang dimiliki oleh anak-anak, sehingga mereka bisa mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan tertinggi sebagai individu dan anggota masyarakat. Pandangan KHD ini mengingatkan bahwa peran pendidik sebagai pemimpin dalam pembelajaran adalah untuk menumbuhkan motivasi siswa, membangun minat yang mendalam terhadap materi dengan merancang pengalaman belajar yang menarik dan bermakna. Kita secara sengaja merencanakan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan siswa untuk mengembangkan potensinya.

Pentingnya proses pendidikan yang holistik untuk perkembangan siswa telah menjadi perhatian para pendidik sejak lama. Kesadaran ini berakar dari teori Kecerdasan Emosi oleh Daniel Goleman, yang kemudian melahirkan CASEL (Collaborative for Academic, Social and Emotional Learning) pada tahun 1995.

Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) yang didasarkan pada kerangka CASEL ini dikembangkan oleh Daniel Goleman bersama tim pendidik, peneliti, dan pendamping anak. Konsep PSE yang berbasis penelitian ini bertujuan untuk mendorong perkembangan positif anak melalui program-program yang terkoordinasi dengan berbagai pihak dalam komunitas sekolah.

PSE merupakan pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak, pendidik, dan tenaga kependidikan di sekolah untuk memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif terkait aspek sosial dan emosional. Dengan demikian, PSE membantu membentuk lingkungan sekolah yang mendukung perkembangan holistik anak, tidak hanya dalam aspek akademis tetapi juga dalam aspek sosial dan emosional. Melalui kerja sama yang erat antara semua pihak di sekolah, siswa dapat belajar mengelola emosi, membangun hubungan yang positif, dan membuat keputusan yang bertanggung jawab, yang semuanya penting untuk kesuksesan mereka di masa depan.

 

Tujuan Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE)

·       Memahami, menghayati dan mengelola emosi (kesadaran diri)

·       Menetapkan dan mencapai tujuan positif (manajemen diri)

·       Merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial)

·       Membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan membangun relasi)

·       Membuat keputusan yang bertanggung jawab (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab)

 

Lima Kompetensi Sosial dan Emosional (KSE):

  1. Kesadaran Diri: Kemampuan untuk mengenali perasaan, emosi, dan nilai-nilai pribadi serta memahami bagaimana hal tersebut mempengaruhi perilaku dalam berbagai situasi kehidupan.
  2. Manajemen Diri: Kemampuan untuk mengendalikan emosi, pikiran, dan tindakan secara efektif dalam berbagai situasi demi mencapai tujuan dan aspirasi.
  3. Kesadaran Sosial: Kemampuan untuk memahami perspektif dan menunjukkan empati terhadap orang lain, termasuk mereka yang berasal dari latar belakang, budaya, dan konteks yang berbeda.
  4. Keterampilan Berelasi: Kemampuan untuk menjalin dan mempertahankan hubungan yang sehat dan suportif.
  5. Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab: Kemampuan untuk membuat pilihan yang bijaksana, berdasarkan kepedulian, standar etis, dan keselamatan, serta mengevaluasi manfaat dan konsekuensi dari berbagai tindakan demi kesejahteraan diri sendiri, masyarakat, dan kelompok.

Well-Being: Well-being adalah kondisi di mana seseorang merasa nyaman, sehat, dan bahagia. Individu yang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan dan mengatur perilakunya, memenuhi kebutuhannya dengan baik, serta memiliki tujuan hidup yang membuat hidup mereka bermakna. Mereka juga terus berupaya mengeksplorasi dan mengembangkan diri.

Implementasi Kompetensi Sosial dan Emosional:

  • Pengajaran KSE secara eksplisit: Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan, melatih, dan merefleksikan kompetensi sosial dan emosional secara khusus, sesuai dengan perkembangan budaya.
  • Integrasi KSE dalam praktik mengajar dan kurikulum akademik: Mengintegrasikan tujuan KSE ke dalam konten dan strategi pembelajaran, termasuk materi akademik, musik, seni, dan pendidikan jasmani.
  • Penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah: Menciptakan lingkungan belajar yang mendukung pengembangan kompetensi sosial dan emosional, responsif terhadap budaya, serta berfokus pada pembangunan hubungan dan komunitas.

Kesadaran Diri (Mindfulness): PSE berbasis mindfulness memberikan perhatian berkualitas yang didasarkan pada keterbukaan pikiran, rasa ingin tahu tanpa menghakimi, dan kebaikan hati. Hal ini membantu seseorang menghadapi situasi-situasi menantang dan sulit, serta meningkatkan penghargaan terhadap perbedaan, pemahaman diri dan orang lain, kemampuan menghadapi tantangan, dan perspektif yang beragam (resiliensi).

Penerapan PSE di Kelas:

  • PSE Rutin: Penerapan PSE yang dijadwalkan, seperti kegiatan membuat lingkaran pagi hari di mana siswa menyampaikan atau menulis apa yang akan dicapai selama belajar pada hari tersebut.
  • PSE Terintegrasi: Mengintegrasikan PSE dalam pelajaran dengan diskusi kasus atau penyelesaian masalah secara berkelompok.
  • PSE Protokol: Kegiatan sekolah yang menjadi tata tertib dan kebijakan, seperti membangun hubungan sosial yang positif dan penyelesaian masalah tanpa kekerasan.

PSE Teknik STOP: STOP (Stop, Take a deep breath, Observe, Proceed) adalah teknik pembelajaran yang membantu membangun mindfulness, meredakan ketegangan, dan mengembalikan fokus siswa.

Keterkaitan Antar Materi:

PSE terhubung dengan filosofi pendidikan KHD, nilai dan peran Guru Penggerak, visi Guru Penggerak, budaya positif, dan pembelajaran berdiferensiasi. Pengabaian pengembangan keterampilan sosial dan emosional dapat berdampak buruk secara akademik, sementara perkembangan sosial dan emosional yang selaras dengan perkembangan akademik sangat penting.

Tiga Hal Mendasar dan Penting:

  1. Peningkatan lima kompetensi sosial emosional: Kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
  2. Kesadaran penuh (mindfulness): Sebagai dasar penguatan lima kompetensi sosial dan emosional.
  3. Penerapan PSE berbasis mindfulness: Mendukung terwujudnya well-being ekosistem sekolah.

Perubahan di Kelas dan Sekolah:

  • Untuk murid:
    • Pengajaran eksplisit: Memastikan murid memiliki kesempatan konsisten untuk menumbuhkan, melatih, dan merefleksikan lima KSE.
    • Pembelajaran akademik terintegrasi KSE: Mengintegrasikan KSE ke dalam konten dan strategi pembelajaran.
    • Keterlibatan murid: Menghormati dan meningkatkan perspektif dan pengalaman murid dengan melibatkan mereka sebagai pemimpin, pemecah masalah, dan pembuat keputusan.
  • Untuk rekan sejawat:
    • Menjadi teladan: Menerapkan KSE dalam peran dan tugas, menciptakan budaya apresiasi, dan menumbuhkan rasa peduli.
    • Belajar: Melakukan refleksi KSE pribadi, berkolaborasi, mengembangkan pola pikir bertumbuh, memahami tahapan perkembangan murid, dan meluangkan waktu untuk introspeksi.
    • Berkolaborasi: Membuat kesepakatan bersama, membentuk komunitas belajar profesional, sistem mentoring, dan mengintegrasikan KSE dalam rapat guru.

Peran pendidik adalah tugas mulia yang memerlukan ketekunan dan kesabaran. Mari terus belajar, berefleksi, bertumbuh, berbagi, dan berkolaborasi demi kemajuan murid-murid kita.

 

July 06, 2024

Jurnal Refleksi Dwi Mingguan Modul 2.2

 Jurnal Refleksi Dwi Mingguan Modul 2.2

Oleh: Ari Ermawan

SDN Kembangan Utara 10


Saya Ari Ermawan, Calon Guru Penggerak Angkatan 10 dari DKI Jakarta. Kali ini Saya akan melakukan refleksi kegiatan Saya pada modul 2.2. Dalam merefleksikan pengalaman Saya, Saya menggunakan Model 4F (Fact, Feelings, Findings dan Future) atau 4P (Peristiwa, Perasaan, Pembelajaran dan Penerapan):

 

1. FACT (Peristiwa)

 Pada hari Selasa, 25 Juni 2024 saya memulai modul 2.2. Pembelajaran Sosial dan Emosional. Dalam modul ini saya mempelajari mengenai hal-hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelaaran sosial emosional melalui ekplorasi konsep. Ada 5 kasus dalam ekplorasi konsep yang harus dianalisis pemecahan masalahnya berkaitan dengan pembelajaran sosial emosional. Pada tanggal 27 dan 28 Juni kami melakukan diskusi melalui ruang kolaborasi mempresentasikan hasil diskusi kelompok, kemudian pada tanggal 3 Juli kami mengikuti sesi Elaborasi pemahaman,

 

2. FEELINGS (Perasaan)

 Saya merasa sangat senang mempelajari materi pembelajaran sosial dan emosional ini karena semakin memperdalam pemahaman saya tentang bagaimana memahami kondisi peserta didik dalam pelaksanaan pembelajaran. Melalui materi ini, saya belajar untuk lebih peka terhadap perasaan, kebutuhan, dan tantangan yang dihadapi oleh siswa. Pemahaman ini memungkinkan saya untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan suportif, di mana setiap siswa merasa dihargai dan didukung dalam proses belajarnya. Selain itu, pengetahuan tentang aspek sosial dan emosional ini membantu saya mengenali tanda-tanda stres atau kecemasan pada siswa, sehingga saya dapat memberikan intervensi yang tepat untuk membantu mereka mengatasi hambatan tersebut.

Saya berpikir bahwa kesuksesan pembelajaran bukan hanya tentang menyelesaikan suatu materi pembelajaran, namun bagaimana murid mampu memahami pelajaran tersebut secara lebih mendalam dan bermakna bagi kehidupannya. Pembelajaran yang efektif tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga melibatkan pengembangan keterampilan sosial dan emosional. Ketika siswa mampu mengaitkan materi pelajaran dengan pengalaman pribadi dan kehidupan sehari-hari mereka, mereka akan lebih mudah menginternalisasi pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan. Dengan demikian, pembelajaran menjadi lebih relevan dan bermanfaat bagi perkembangan mereka secara keseluruhan.

Pemahaman yang lebih mendalam tentang pembelajaran sosial dan emosional juga mengajarkan saya pentingnya membangun hubungan yang positif antara guru dan siswa. Hubungan yang baik antara guru dan siswa dapat meningkatkan motivasi belajar dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Ketika siswa merasa dihargai dan didukung oleh gurunya, mereka cenderung lebih bersemangat untuk belajar dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan kelas. Selain itu, hubungan yang kuat dengan siswa memungkinkan guru untuk lebih memahami kebutuhan individu mereka, sehingga dapat memberikan pendekatan pembelajaran yang lebih personal dan efektif.

Secara keseluruhan, mempelajari materi pembelajaran sosial dan emosional telah membuka wawasan saya tentang pentingnya memahami siswa sebagai individu yang unik dengan berbagai kebutuhan dan potensi. Saya menyadari bahwa peran guru tidak hanya sebagai penyampai materi pelajaran, tetapi juga sebagai pembimbing yang membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang penting bagi kehidupan mereka. Dengan demikian, saya berkomitmen untuk terus mengembangkan diri dalam aspek ini, agar dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih bermakna dan holistik bagi siswa-siswa saya.

 

3. FINDINGS (Pembelajaran)

 Dari hasil mempelajari modul pembelajaran sosial emosional ini, saya mendapatkan banyak hal yang sangat bermanfaat. Salah satunya adalah pemahaman tentang pentingnya membuat program pembelajaran yang berpihak pada murid. Program tersebut harus memuat konten yang memberikan suara kepada murid, memungkinkan mereka untuk memilih  bagaimana mereka belajar, dan memberikan kepemilikan atas proses pembelajaran mereka. Dengan melibatkan murid secara aktif dalam proses ini, mereka merasa lebih dihargai dan termotivasi untuk belajar.

Pada akhirnya, pembelajaran yang dirancang dengan baik melibatkan sosial dan emosional murid dan terkelola dengan baik akan melahirkan murid yang memiliki Profil Pelajar Pancasila. Profil ini mencakup karakteristik siswa yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, gotong royong, dan berkebinekaan global. Dengan pendekatan yang menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran dan mengembangkan aspek sosial serta emosional mereka, kita dapat membantu mereka menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kepribadian yang kuat dan siap menghadapi tantangan di masa depan.

 

4. FUTURE (Penerapan)

 Penerapan pembelajaran sosial emosional (PSE) di sekolah dimulai dengan evaluasi awal untuk memahami kebutuhan sosial dan emosional siswa serta kapasitas sekolah dalam memenuhinya. Langkah ini melibatkan pemetaan aset yang ada, seperti sumber daya manusia dan fasilitas, serta program yang sudah berjalan melalui survei, wawancara, atau diskusi kelompok dengan siswa, guru, dan orang tua. Setelah kebutuhan teridentifikasi, kurikulum PSE yang terintegrasi dengan kurikulum akademik disusun, mencakup tujuan pembelajaran sosial dan emosional, strategi pengajaran, serta metode evaluasi. Guru dan staf kemudian mendapatkan pelatihan khusus tentang PSE untuk memastikan mereka siap dan mampu mengimplementasikannya, dengan pelatihan berkelanjutan dan dukungan profesional sebagai kunci keberlanjutan program.

PSE diintegrasikan ke dalam semua aspek kegiatan sekolah, baik di dalam maupun di luar kelas, melalui pengajaran aktif keterampilan sosial dan emosional oleh guru dan penciptaan lingkungan belajar yang aman dan mendukung. Monitoring dan evaluasi secara berkala dilakukan untuk menilai efektivitas program melalui observasi kelas, penilaian siswa, serta feedback dari guru, siswa, dan orang tua, dan hasil evaluasi digunakan untuk melakukan perbaikan dan penyesuaian program. Pelibatan orang tua dan komunitas juga menjadi bagian penting, dengan sekolah mengadakan workshop atau pertemuan untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya PSE dan bagaimana mereka bisa mendukungnya di rumah, serta kerjasama dengan komunitas untuk memperkaya program melalui berbagai kegiatan dan sumber daya tambahan.

Agar program PSE berjalan dengan baik, diperlukan kebijakan sekolah yang mendukung seperti kebijakan anti-bullying dan kebijakan kesejahteraan siswa yang memberikan kerangka kerja yang jelas bagi guru, staf, dan siswa. Dengan rencana penerapan yang matang dan dukungan dari seluruh komunitas sekolah, pembelajaran sosial emosional diharapkan dapat memberikan dampak positif yang signifikan terhadap perkembangan siswa, tidak hanya secara akademis tetapi juga dalam keterampilan sosial dan emosional yang penting untuk kehidupan mereka di masa depan.

 Terima kasih

 

Komentar Terkini