A. Pengertian Profesi
Menurut Kartadinata profesi guru adalah orang yang memiliki
latar belakang pendidikan keguruan yang memadai, keahlian guru dalam
melaksanakan tugas-tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan
keguruan tertentu, dan kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh warga masyarakat
pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan.
Makagiansar, M.
1996, profesi guru adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan
keguruan yang memadai, keahlian guru dalam melaksanakan tugas-tugas
kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan keguruan tertentu.
Nasanius, Y.
1998 mengatakan profesi guru yaitu
kemampuan yang tidak dimiliki oleh warga masyarakat pada umumnya yang tidak
pernah mengikuti pendidikan keguruan. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan
guru sebagai tenaga pendidik, antara lain: (a) sebagai pekerja profesional
dengan fungsi mengajar, membimbing dan melatih (b) pekerja kemanusiaan dengan
fungsi dapat merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki, (c)
sebagai petugas kemashalakatkatan dengan fungsi mengajar dan mendidik
masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik.
Galbreath, J.
1999 frofesi gurtu adalah orang yang Bekerja atas panggilan hati nurani. Dalam
melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas dorongan
atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan
tugas berat mencerdakan anak didik.
Gagasan pendidikan profesi guru semula dimaksudkan sebagai
langkah strategis untuk mengatasi problem mutu keguruan kita karena perbaikan
itu tidak akan terjadi dengan menaikkan remunerasi saja. Oleh sebab itu,
pendidikan profesi diperlukan sebagai upaya mengubah motivasi dan kinerja guru
secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Tetapi sangat
disayangkan implementasi gagasan pendidikan profesi lebih ditekankan pada uji
sertifikasi (terutama untuk guru dalam jabatan). Padahal, Pasal 11 UU Sisdiknas
mensyaratkan untuk memperoleh sertifikat pendidik tidak lain adalah kualifikasi
S1/D4 dan menempuh pendidikan profesi
guru.
Program uji
sertifikasi yang tengah dijalankan pemerintah dengan mengandalkan penilaian
portofolio, dipilih oleh pemerintah kabupaten/kota. Bahkan akan dibuka peluang
bagi mereka yang tidak berkualifikasi S1/D4. Kenyataan ini bukan saja tidak
menghasilkan perbaikan mutu, tetapi akan memunculkan masalah birokratisasi yang
pada akhirnya mempersulit guru.
Program
sertifikasi tidak boleh dilepaskan dari proses pendidikan profesi, dan tidak
seharusnya dipandang sekadar cara memberikan tunjangan profesi. Tunjangan
profesi hanyalah insentif agar para guru mau kembali belajar, sedangkan
perbaikan kesejahteraan guru harus diberlakukan kebijakan lain tentang
remunerasi.
"Ada piti
(uang) muncul dignity," seloroh seorang guru. Memang persoalan ekonomi
yang dihadapi guru sangat memengaruhi kinerja dan citranya di dalam masyarakat.
Melalui tunjangan profesi kesejahteraan guru sulit diperbaiki karena
mensyaratkan adanya kualifikasi dan sertifikat pendidik.
Penghasilan
guru seharusnya diperbaiki--agar profesi ini menjadi kompetitif--dengan
menaikkan tunjangan fungsional secara progresif dan mengoptimalisasi peran
pemerintah daerah dalam pemberian insentif seperti yang telah dilakukan oleh
Pemda DKI Jakarta sekarang ini. Dengan demikian perbaikan remunerasi terlaksana
secara merata dan proses sertifikasi tidak didesak untuk mengambil jalan
pintas.
Begitulah guru
dan pendidikan di negara maju dan ingin maju, senantiasa berada pada top of mind
para pemimpin dan masyarakatnya. Bangsa Indonesia perlu belajar lebih banyak
lagi.
Jika konflik
kepentingan muncul, manakah standar moral dan etika profesi
yang dipakai sebagai sarana untuk memecahkan konflik? Maksim moral Kant Setiap
profesi, apa pun, termasuk guru, tidak dapat melepaskan diri dari prinsip moral
dasar yang diajukan Immanuel Kant. Dengan memperlakukan individu atau pribadi
dalam kerangka tujuan keberadaan mereka, Kant implisit mengakui, tiap individu
memiliki nilai-nilai intrinsik. Individu itu bernilai dalam diri sendiri.
Karena itu, tiap penguasaan atau perbuatan yang menundukkan mereka, menjadi
sarana bagi tujuan pribadi individu, merupakan pelanggaran atas norma moral.
Kerja sama antara lembaga sekolah dan lembaga bimbel menyiratkan adanya konflik
kepentingan. Demi kepentingan siapa lembaga bimbel itu ada? Siswa, guru dan
sekolah, orangtua, atau lembaga bimbel? Mungkin ada yang berpendapat, yang
diuntungkan adalah semua, yaitu siswa, guru/sekolah, orangtua, dan lembaga
bimbel.
Siswa bisa kian
percaya diri dalam menghadapi ujian nasional (UN). Orangtua merasa nyaman dan
aman anaknya akan siap menghadapi UN dan tes ujian masuk perguruan tinggi
negeri, sekolah untung karena prestasi menjadi tinggi, guru untung sebab dapat
tambahan uang saku, dan lembaga bimbel untung karena dapat fulus dari proyek
ini. Namun tidak semua berpendapat demikian sebab tidak semua siswa, guru, dan
orangtua diuntungkan! Kehadiran lembaga bimbel di sekolah merupakan indikasi
konflik kepentingan yang mengorbankan martabat guru, memperalat siswa,
mengelabui orangtua, dan menipu masyarakat. Maksim moral Kant mensyaratkan,
dalam setiap hal kita harus menghormati pribadi atau yang lain sebagai bernilai
dalam diri sendiri dan tidak pernah memanfaatkan mereka sebagai alat demi
tujuan tertentu (bahkan yang tampaknya baik dan menguntungkan). Tugas mendidik
dan mengajar siswa merupakan hak istimewa yang menjadi monopoli guru. Ketika
tugas ini diserahkan kepada lembaga lain yang tidak memiliki monopoli profesi
muncul pertanyaan. Selama ini apa yang telah dilakukan para guru dalam mendidik
siswa?
B.
Professional
Keinginan
menghadirkan lembaga bimbel di sekolah menjadi tanda, guru tidak melaksanakan
profesinya secara profesional dan total. Fenomena bimbel di sekolah menunjukkan
kenyataan, kepentingan siswa telah diperalat demi kepentingan lain, terutama
demi kepentingan bisnis. Lembaga bimbel yang datang ke sekolah tidak gratis
tetapi dibayar. Demi kepentingan ini, siswa dan orangtua harus membayar. Aturan
moral yang berlaku untuk kasus ini adalah jika bimbel diperlukan sekolah demi
perbaikan prestasi siswa, sekolah tidak berhak menarik bayaran atas kegiatan
tambahan ini. Les tambahan merupakan tanggung jawab sekolah demi kepentingan
siswa. Namun, yang gratisan seperti ini tidak ada! Maka, sekolah dan guru telah
memanipulasi siswa menjadi alat demi kepentingan sendiri. Guru menarik
keuntungan dengan mengorbankan martabat profesinya sendiri. Apa yang dilakukan?
Berhadapan dengan situasi ini, apa yang dapat dilakukan? Pertama, pemerintah
dan guru seharusnya segera bertindak untuk memulihkan martabat profesionalnya.
Praksis kerja sama sekolah dengan lembaga bimbel harus dihentikan, jika perlu
sekolah yang melakukan diberi teguran keras, sebab mereka telah melecehkan
etika profesi guru yang membuat fungsi mereka tidak dipercaya lagi dalam
masyarakat. Kedua, untuk itu perlu dibentuk Dewan Kehormatan Guru agar profesi guru
tetap terjaga martabatannya dan kepentingan masyarakat luas tetap terjamin.
C.
Kode Etik Guru
Sebagai
kalangan profesional, sudah waktunya guru Indonesia memiliki kode etik dan sumpah profesi. Guru
juga harus memiliki kemampuan sesuai dengan standar minimal sehingga nantinya
“tidak malapraktik” ketika mengajar.
Direktur
Program Pascasarjana Uninus, Prof. Dr. H. Achmad Sanusi, M.P.A., menyatakan hal
itu di ruang kerjanya Jln. Soekarno-Hatta, Kamis (4/10). “Dibandingkan dengan
profesi lain seperti dokter, guru masih tertinggal karena belum memiliki sumpah
dan kode etik guru,” katanya.
Adanya sumpah
profesi dan kode etik guru, menurut Achmad Sanusi, sebagai rambu-rambu, rem,
dan pedoman dalam tindakan guru khususnya saat kegiatan mengajar. Alasannya,
guru harus bertanggung jawab dengan profesi maupun hasil dari pengajaran yang
ia berikan kepada siswa. Jangan sampai terjadi malpraktik pendidikan.
KODE ETIK GURU INDONESIA:
- Guru berbakti membimbing peserta
didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya berjiwa Pancasila
- Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran
professional
- Guru berusaha memperoleh informasi
tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan
- Guru menciptakan suasana sekolah
sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar
- Guru memelihara hubungan baik
dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta
dan tanggung jawab bersama terhadap pendidikan
- Guru secara pribadi dan secara
bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu da martabat profesinya
- Guru memelihara hubungan profesi
semangat kekeluargaan dan kesetiakawanana nasional
- Guru secara bersama-sama
memelihara dan meningkatkan mutu organiosasi PGRI sebagai sarana
perjuangan dan pengabdian
- Guru melaksanaakn segala kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan
D. Kesimpulan
Pada prinsipnya profesionalisme
guru adalah guru yang dapat menjalankan tugasnya secara profesional, yang memiliki
ciri-ciri antara lain:
1. Ahli di Bidang teori dan Praktek
Keguruan.
Guru
profesional adalah guru yang menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dan ahli
mengajarnya (menyampaikannya). Dengan kata lain guru profesional adalah guru
yang mampu membelajarkan peserta didiknya tentang pengetahuan yang dikuasainya
dengan baik.
2.
Senang
memasuki organisasi Profesi Keguruan.
Suatu pekerjaan dikatakan sebagai
jabatan profesi salah satu syaratnya adalah pekerjaan itu memiliki organiasi
profesi dan anggota-anggotanya senang memasuki organisasi profesi tersebut.
Guru sebagai jabatan profesional seharusnya guru memiliki organisasi ini.
Fungsi organisasi profesi selain untuk menlindungi kepentingan anggotanya juga
sebagai dinamisator dan motivator anggota untuk mencapai karir yang lebih baik
(Kartadinata dalam Meter, 1999). Konsekuensinya organisasi profesi turut
mengontrol kinerja anggota, bagaimana para anggota dalam memberikan pelayanan
pada masyarakat. PGRI sebagai salah satu organisasi guru di Indonesia memiliki
fungsi:
a.
Menyatukan
seluruh kekuatan dalam satu wadah,
b.
Mengusahakan
adanya satu kesatuan langkah dan tindakan,
c.
Melindungi
kepentingan anggotanya,
d.
Menyiapkan
program-program peningkatan kemampuan para anggotanya,
e.
Menyiapkan
fasilitas penerbitan dan bacaan dalam rangka peningkatan kemampuan profesional,
dan
f.
Mengambil
tindakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran baik administratif maupun
psikologis.
DAFTAR PUSTAKA
-----------, 2006. Undang
Undang No.14 tahun 2005 pendidikan nasional Indonesia , Jakarta: Depdiknas RI
-----------, 2003. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 manajemen pendidikan , Jakarta:
Depdiknas RI
http://makalahfrofesikependidikan.blogspot.com/2010/07/ makalah-profesi-guru.html
-----------,2002. Masalah manajemen pendidikan di Indonesia, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan kebudayaan Ditjen Dikdasmen - Dik menum.
Wanto, 2005. manajemen dan pendidikan, Surabaya; Tabloid Nyata IV Desember