“Pi, tolong dong aku ada PR, aku harus memberi contoh realita dan hipotesis,” desak seorang anak kepada ayahnya.
Sang Ayah berpikir sebentar, kemudian menjawab “Nak, pergilah ke mami. Jelaskan padanya bahwa kau punya PR yang sulit. Mintalah kepada mami agar jangan tersinggung. Tapi mintalah agar mami menjawab dengan jujur apakah dia mau tidur dengan om senang untuk satu juta dollar?”
“Ah, papi..”
“Lha ini kan hanya berandai-andai, bukan beneran, nak. Dan jelaskan hal itu kepada ibumu. Jangan lupa mohon maaf sebelumnya.”
Sang Anak mendatangi ibunya di dapur, “Mi, maaf sebelumnya, aku ada PR yang sulit dari sekolah mengenai hipotesis dan realita. Apakah mami mau tidur dengan om senang untuk satu juta dollar?”
Mami marah besar, “Kamu sudah gila ya? Bisa-bisanya tanya gitu sama mamimu. Murtad kamu!”
“Lha aku kan sudah minta maaf sebelumnya. Ini kan ga beneran mi, cuma untuk mengetahui artinya hipotesis dan realita. Mi, tolong Mi...”
“Untuk PR sekolah? Gurumu ga ada kerjaan lain kali ya?”
“Tolong Mi, aku harus tau bedanya hipotesis dan realita”
Karena sayang anak sang Ibu mengalah, “Dollar Amerika atau Singapura?”
Sang Ayah yang menguping pembicaraan mereka memanggil anaknya, “Sudah, sudah cukup. Papi sudah bisa menjawabnya.”
“Ya, Pi.”
“Tinggal satu lagi, sebelum kujelaskan perbedaanya, pergilah ke kakakmu. Tanyakan pertanyaan yang sama, jangan lupa minta jawaban yang jujur,” kata sang Ayah.
Kakaknya ternyata jauh lebih progresif daripada ibunya. Katanya, “Baiklah, bila kamu mau jawaban yang jujur, tentu aku mau tidur dengan om senang untuk satu juta dollar. Aku ga peduli mau dollar Amerika atau Singapura, apapun boleh asal satu juta. Kalau boleh milih ya, pilih dollar Amerika.”
Sesaat kemudia anak itu kembali kepada ayahnya, “Bagaimana, Pi?”
Begini, “Hipotesis adalah kemungkinan kita berdua sangat kaya. Kemungkinan kita memiliki dua juta dollar. Kapan saja kemungkinan itu dapat menjadi kenyataan. Inilah hipotesis. Lalu, realitanya adalah bahwa kita berdua hidup bersama dua wanita yang dapat menjual diri kapan saja.”
Lanjut ayahnya, “Namun, dibalik realita itu masih ada hipotesis. Tidak ada kepastian suatu apa pun. Barangkali om senang tidak tertarik untuk menguras koceknya demi dua wanita itu.”
Inilah realita kehidupan manusia, tidak lebih dari sebuah hipotesis. Hipotesis-hipotesis kolosal, dimana hipotesis kita berbeda dengan hipotesis orang lain.